Terbalik
Oleh: Ickur
Kondisi seperti ini yang paling aku tidak suka tapi namanya juga musibah mau diapa lagi. Di jalan pulang menuju ke rumah tiba-tiba ban motor kempes, laju motor langsung oleng, untung bisa refleks mengurangi kecepatan. Posisi duduk terpaksa bergeser semakin ke depan untuk mengimbangi ban belakang yang nyaris tumpah seluruh anginnya.
“Mudah-mudahan bannya gak pecah”. Desisku dalam hati.
Aku diperhadapkan pada dua pilihan yang harus kuambil dengan cepat. Turun dari kendaraan untuk menghindari ban motor robek akibat beban yang dipaksakan saat kempes dengan catatan harus rela bermandi keringat di terik matahari siang untuk mendorong motor, atau tetap mengendarai motor dengan resiko ban bisa robek?
Karena aku tidak punya waktu mempertimbangkan lebih lama, maka aku memilih terus mengendarainya meskipun harus mengurangi kecepatan nyaris setingkat kecepatan maksimal kura-kura dalam berjalan, dengan harapan ban motor tidak robek sehingga tidak memungkinkan untuk diganti, khawatir uang yang tinggal enam puluh ribu di dompetku tidak cukup untuk membeli ban baru.
Tiba di bengkel terdekat aku melihat montir, mungkin sekaligus pemilik bengkel dengan tatapan muram. Langsung saja motor kuparkir di dalam bengkel.
“Bisa tambah angin, mas?” Tanyaku tanpa pra-kata.
“Kalo aku liat kondisi bannya parah, gak ada gunanya tambah angin” jawabnya.
“Kalo gitu ditambal aja, mas’. Kataku.
“Waduh, aku gak punya alat tambal ban”. Kata si pemilik bengkel.
“Kalo ganti ban dalam berapa?” Tanyaku sembari berharap dana yang tersisa di dompetku cukup.
“Gak ada stok ban dalam, mas”. Jawabnya datar, di wajahanya tak terlihat sinar cerah seiring harapanku yang harus pupus menyelesaikan masalah ban yang kempes di tempat itu.
Aku berlalu dari bengkel itu, kembali mencari dengan penuh harap semoga tidak jauh dari tempat itu ada bengkel yang bisa menyelesaikan masalah yang sedang kualami.
Terik mentari yang rasa-rasanya tembus ke kulit meskipun aku mengenakan jaket tebal, sekali lagi tidak memberiku banyak pilihan selain mengendarai paksa motor meskipun dalam keadaan yang sebenarnya tidak memungkinkan.
Nasib baik agaknya memihak kepadaku karena setelah melalui jalanan menanjak, instingku menyuruh untuk belok kiri, dan betul saja beberapa meter kemudian, di seberang jalan terdapat bengkel kecil, sepi dan kelihatan kumuh. Tidak ada pilihan lain kecuali singgah, siapa tahu bengkel ini justru bisa menyelesaikan masalahku.
Kenapa tiba-tiba suasana terasa horor? Di kiri kanan jalan nampak sepi, angin mendesau dan aku terbayang kejutan yang tiba-tiba akan muncul dibelakangku dengan tepukan pelan di bagian pundakku.
Memang dari arah luar bengkel aku sama sekali tidak melihat seorang pun berada di bengkel itu, jadi aku memarkir motor di depan bengkel. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba aku melihat dari balik etalase kaca muncul jari-jari tangan tangan mencengkram pinggiran etalase, selanjutnya perlahan-lahan muncul kepala dengan bola mata berwarna merah.
“Ada apa?” Terdengar suara parau dari sosok yamg muncul secara tiba-tiba dari balik etalase itu.
“Ini Bang, ban belakangnya kempes”. Jawabku
Nampaknya orang ini baru terbangun dari tidur, mungkin kemunculanku secara tiba-tiba membuat dia terbangun karena kaget. Dia mendekat, nampak dia masih berusaha menguasai kesadarannya.
Aku sempat berpikir kalau yang muncul adalah hantu maka aku sudah bersiap dengan membaca do’a pengusir hantu yang diajarkan oleh orang tuaku pada saat aku masih kecil. Katanya baca saja “Salamun Qaulan min rabbir rahim (QS. Yasin ayat 58) tiga kali kemudian sebut Qithmir”. Qithmir adalah nama anjing Ashabul Kahfi (QS. Al Kahfi ayat 18/ Tafsir Ibnu Katsir). Raja jin sangat takut pada Qithmir”.
Kalau ternyata yang muncul adalah orang jahat maka aku sudah bersedia dengan jurus andalanku. Serangan pertama adalah serangan kejutan yang akan kuarahkan langsung ke matanya dengan colokan tangan kiri, serangan kedua mengarah ke rahangnya dengan tangan kananku, setelah itu kaki kiriku harus mengakhiri dengan tendangan sabit sekuat tenaga yang mengarah ke lehernya.
Ternyata yang muncul tidak sesuai dugaanku yang tergiring suasana horor layaknya film. Dia adalah pemilik bengkel itu yang tertidur sembari menunggu pelanggan yang tak kunjung muncul.
“Ini kira-kira bocor atau kempes aja ya, bang?” Tanyaku mencoba mencairkan suasana.
“Aku gak tau mas, harus dibuka dulu!” Jawabnya.
“Kalo ganti ban dalam berapa, bang?” Tanyaku mencoba mengakhiri rasa penasaran akan cukup tidaknya sisa uang di dompetku dengan kemungkinan biaya bengkel yang harus kubayarkan.
“Harganya uda naik, mas. Sekarang lima puluh lima ribu. Ini gara-gara harga BBM naik, harga ban dalam juga ikut naik”. Kata pemilik bengkel itu.
Apa saja yang menyangkut kenaikan harga akhir-akhir ini pasti dihubungkan dengan kenaikan BBM. Apalagi kalau ke pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Sebelum kenaikan harga BBM, biasanya motor aku isi bensinnya sampai penuh, tapi sejak harga BBM dinaikkan oleh pemerintah aku merasa berat untuk mengisi penuh.
“Mudah-mudahan ban dalamnya robek!” Kata pemilik bengkel itu sembari memeriksa bannya.
“Kurang ajar orang ini!” Kataku dalam hati.
“Loh, kok gitu do’anya, bang?” Kataku memprotes.
“Iya, karena kalo aku berdo’a gak pernah terkabul. Jadi kemungkinan bannya cuma butuh tambah angin aja, gak bocor, apalagi robek”. Jawabnya tanpa beban.
Aku tidak tahu persis apa maksud dia mengatakan do’anya tidak pernah terkabul sehingga berani menarik kesimpulan sebaliknya yang bertolak belakang dengan apa yamg dia minta dalam do’a. Yang jelas dia merasa mantap untuk mengatakan do’anya tidak pernah terkabul. Meskipun tidak terkabul atau anggap saja saat ini masih belum terkabul berarti setidaknya dia pernah berdo’a. Kalau begitu, dia yakin bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang menjadi tempat untuk mengajukan do’a, mungkin dia menamai kekuatan di luar dirinya itu Tuhan atau apalah namamya. Dari sini aku bisa mengambil kesimpulan secara sederhana bahwa dia beriman kepada Yang Berhak Mengabulkan dan Tidak Mengabulkan Do’a.
Dan betul saja, bannya tidak bocor, tentu tidak robek juga. Berarti kata-kata orang ini terbukti, bahwa do’anya tidak pernah terkabul, setidaknya sampai saat ini.
“Betul kan, do’aku gak diterima?” Katanya sambil tersenyum , masih tanpa beban sedikitpun yang membayang dari raut wajahnya.
“Kalau begitu, bang! Kalau berdo’a minta aja apa yang menjadi kebalikan dari keinginan abang, kan gak terkabul. Jadi nantinya yang dikabulkan adalah keinginan abang”. Kataku memcoba mainkan logika.
Dia cuma tersenyum dan dengan lincah tangannya menggerayangi peralatan bengkel untuk menyelesaikan perkerjaannya. Setelah semuanya selesai aku menanyakan berapa total tagihan biayanya.
“Terserah aja mau ngasih berapa, mas”. Jawabnya santai.
Aku kemudian memberinya selembar uang sepuluh ribu rupiah.
“Ikhlas ya?” Tanyanya.
“Iyalah, kalo gak ikhlas, dari tadi aku nawar” kataku.
Aku sempat menaruh prasangka bahwa orang ini akan meminta biaya pekerjaan yang mahal mengingat bengkelnya ini lumayan sepi. Atau dia akan berbusa-busa menawarkan ini-itu yang harus diganti dari motorku supaya barangnya dagangannya banyak yang laku sehingga dia mendapat uang lebih banyak. Tapi ternyata tidak.
Apakah sangkaanku berlaku sama dengan do’anya yang tidak pernah terkabulkan?. Artinya jika dia mengaku bahwa yang terjadi adalah kebalikan dari do’anya, berarti apa yang terjadi kepadaku adalah kebalikan dari sangkaanku. Sama-sama terbalik*