Islamofobia; Ancaman Politisasi Muslim di Eropa dan Australia

Islamofobia; Ancaman Politisasi Muslim di Eropa dan Australia
Oleh: Ickur
(Ketua LAKPESDAM NU Balikpapan)

Dalam wacana politik internasional, topik Islam dan politik seringkali menjadi titik panas yang memicu perdebatan sengit. Tidak terkecuali di Eropa dan Australia, di mana kekhawatiran akan pengaruh politik komunitas Muslim semakin mencuat. Hal ini terlihat dari sejumlah pernyataan yang bernada kebencian dan ketakutan, seperti yang diungkapkan oleh beberapa tokoh kontroversial.

Nigel Farage, politisi Inggris yang terkenal dengan retorika kerasnya terhadap imigrasi, kerap kali menebarkan narasi yang bernuansa rasisme. Dalam salah satu wawancara dengan Trevor Phillips, seorang tokoh publik yang pernah menyatakan bahwa Muslim “melihat dunia berbeda dari kita” dan sedang menjadi “negara dalam negara”, Farage kembali mengobarkan sentimen anti-Muslim. Phillips sendiri tidak asing dengan kontroversi, mengingat pernyataannya yang sering kali memicu perdebatan tentang integrasi dan identitas nasional.

Di tengah percakapan ini, muncul pula tokoh-tokoh seperti Tommy Robinson. Dalam sebuah pernyataan yang tersebar di media sosial yang dulunya bernama Twitter sekarang ganti menjadi X, Robinson memperingatkan bahwa Muslim di Inggris semakin terorganisir secara politik, sementara non-Muslim tertinggal jauh. Menurutnya, jika non-Muslim tidak segera fokus pada politik, mereka akan ditundukkan oleh Islam melalui kotak suara. Narasi seperti ini jelas mencerminkan ketakutan akan dominasi politik Muslim dan seruan untuk mobilisasi politik oleh non-Muslim.

Pandangan serupa disuarakan oleh Jomic Kane, yang menyatakan bahwa banyak orang masih terlalu nyaman dan apatis terhadap situasi politik. Menurutnya, umat Muslim selalu bersatu dan berkomitmen untuk mencapai tujuan mereka, yang pada akhirnya akan mengisi kursi kosong di parlemen dengan politisi Muslim. Ketakutan ini, meskipun sering kali tidak berdasar, mencerminkan keresahan yang meluas di kalangan tertentu terhadap pertumbuhan politik Muslim.

Hal ini tidak hanya terjadi di Inggris. Di Australia, Daniel Samba mengungkapkan keprihatinannya bahwa banyak warga Australia enggan membahas politik dan kebijakan, atau memahami pentingnya tetap terinformasi dan terlibat. Dia menekankan bahwa jika warga tidak memperhatikan politik, orang lain akan membentuk lanskap politik negara mereka. Ini mencerminkan kekhawatiran bahwa komunitas migran, termasuk Muslim, dapat mempengaruhi kebijakan untuk mendukung nilai-nilai agama mereka.

Ketakutan akan infiltrasi politik oleh Muslim juga diungkapkan oleh tokoh seperti Keletkert, yang menyatakan bahwa strategi umum Islam adalah menyusup ke dalam sistem yudisial dan politik negara lain, angkatan bersenjata, dan kepolisian. Bobby Bear memperingatkan bahwa dengan semakin banyaknya imigran setiap tahun dan cukupnya politisi Muslim, akan ada partai yang berpusat pada Muslim dengan mandat demokratis untuk hukum syariah dalam 20 tahun jika hal ini dibiarkan berlanjut.

Pandangan serupa diutarakan oleh Mike Novax, yang menegaskan bahwa politik adalah cara tercepat bagi Muslim untuk mencapai tujuan mereka. Melalui politik, mereka dapat menetralkan oposisi dan mengubah undang-undang sesuai keinginan mereka, serta membuat hidup sulit bagi perlawanan melalui kemajuan ke dalam penuntutan dan yudisial. Kekhawatiran akan “lawfare” atau penggunaan hukum untuk melemahkan lawan menjadi tema yang mencuat di sini.

Akhirnya, Leviathan Etat memuji kampanye politik yang cerdas oleh Muslim di Inggris. Dia menyoroti bagaimana mereka membangun basis dukungan secara diam-diam dan sabar melalui pernikahan di luar negeri dan jaringan masjid, kemudian maju saat mereka memiliki massa pemilih yang cukup untuk memenangkan kursi.

Menelaah Kebenaran dan Mitos

Ketakutan yang disuarakan oleh tokoh-tokoh ini sering kali berakar pada misinformasi dan prasangka. Misalnya, sebuah studi oleh The Migration Observatory di Universitas Oxford menemukan bahwa kontribusi Muslim dalam politik Inggris sering kali berfokus pada keterlibatan komunitas dan advokasi keadilan sosial, bukan dominasi politik atau penerapan hukum syariah . Selain itu, laporan dari Pew Research Center menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap Muslim sering kali diperkuat oleh media yang cenderung menyoroti aspek ekstremisme ketimbang kontribusi positif komunitas Muslim dalam masyarakat.

Di Australia, meskipun ada kekhawatiran tentang pengaruh politik komunitas Muslim, studi dari Australian Human Rights Commission menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik Muslim Australia masih jauh di bawah rata-rata nasional. Ini menunjukkan bahwa narasi tentang “dominasi politik Muslim” mungkin lebih merupakan cerminan dari ketakutan yang tidak berdasar daripada kenyataan.

Integrasi dan Identitas Nasional

Masalah ini juga terkait erat dengan pertanyaan tentang identitas nasional dan integrasi. Banyak negara Eropa dan Australia bergulat dengan cara terbaik untuk mengintegrasikan komunitas Muslim sambil mempertahankan nilai-nilai nasional mereka. Sejumlah inisiatif telah diambil untuk mempromosikan dialog antaragama dan integrasi sosial, dengan hasil yang beragam.

Namun, menarik untuk disimak bahwa retorika yang membakar ketakutan dan kebencian tidak hanya merusak kohesi sosial, tetapi juga dapat mengarah pada diskriminasi dan marginalisasi yang lebih besar terhadap komunitas Muslim. Alih-alih memperkuat persatuan nasional, narasi seperti ini hanya memperdalam jurang perpecahan dan ketidakpercayaan.

Menuju Dialog yang Konstruktif

Untuk mengatasi ketegangan ini, perlu ada upaya bersama untuk mendorong dialog yang konstruktif dan inklusif. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menciptakan ruang di mana berbagai komunitas dapat berdialog dan saling memahami. Pendidikan tentang kontribusi positif Muslim dalam sejarah dan masyarakat juga bisa menjadi langkah penting untuk mengurangi prasangka dan stereotip.

Selain itu, penting untuk mempromosikan partisipasi politik yang inklusif dan representatif. Semua warga, terlepas dari latar belakang agama atau etnis, harus merasa bahwa mereka memiliki suara dalam proses politik. Ini tidak hanya akan memperkuat demokrasi, tetapi juga membantu memastikan bahwa kebijakan publik mencerminkan keragaman dan kepentingan semua warga negara.
###

Ketakutan akan dominasi politik Muslim di Eropa dan Australia sering kali didasarkan pada stereotip dan misinformasi yang tidak berdasar. Meskipun ada kekhawatiran yang sah tentang integrasi dan identitas nasional, penting untuk menangani isu ini dengan cara yang konstruktif dan inklusif. Dengan mempromosikan dialog, pendidikan, dan partisipasi politik yang representatif, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.

Dengan demikian, daripada terjebak dalam narasi ketakutan dan kebencian, mari kita berusaha untuk menciptakan masa depan di mana semua komunitas dapat hidup berdampingan dengan damai dan saling menghormati.*

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button