Ketika Fiksi Menjadi Tujuan

Oleh: Ickur
(Komunitas Disorientasi)

Dalam pengantar Cerita Calon Arang, Pramoedya Ananta Toer-bahwa dongeng atau legenda merupakan cara seseorang untuk menyampaikan pengetahuan secara turun temurun. Setidaknya kalimat ini yang masih tersusun dalam benak saya dan tersimpan selama puluhan tahun setelah membaca karya Pram itu. Untuk memvalidasi kutipan ini, yakni apa yang persis dikatakan oleh Pram, silahkan baca Cerita Calon Arang.

Dongeng digunakan oleh masyarakat karena pada saat itu media dan teknologi untuk menyimpan pengetahuan yang bisa diakses kapan saja masih belum ada. Muncullah berbagai kisah yang dibumbui dengan fiksi dan fantasi yang di dalamnya diselipkan pengetahuan baik berupa sejarah, filsafat, pandangan hidup, maupun cara-cara tertentu yang digunakan masyarakat dalam berinteraksi sosial serta cara mereka memenuhi kebutuhan hidup.

Namun apa jadinya jika fiksi atau hal-hal fantastik yang menjadi pemanis cerita (supaya orang tertarik untuk menyimak) menjadi sesuatu yang diyakini kebenarannya, bahkan menjadi tujuan untuk mendengar atau menyampaikan dongeng?.

###

Jika pada awalnya kisah fiksi diolah kemudian disisipkan ke dalam kisah sejarah untuk tujuan mewariskan ingatan masa lalu ke masa kini dan menyimpannya untuk masa yang akan datang, maka fiksi sebagai pemanis cerita perlahan-lahan dianggap sebagai fakta sejarah yang benar-benar terjadi.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua cerita fantasi adalah fiksi dalam pengertian cerita bohong yang tidak pernah terjadi di dunia nyata, karena bisa jadi peristiwa “fantastik” Dalam sebuah dongeng merupakan visi atau proyeksi masa depan yang melampaui fakta pada zamannya karena teknologi yang digunakan masyarakat pada saat itu masih sangat sederhana.

Sebut saja “burung raksasa” Yang dijadikan alat transportasi oleh seorang figur sentral dalam sebuah dongeng, kemungkinan burung raksasa ini adalah imajinasi masyarakat yang pada saat itu mendambakan adanya alat transportasi yang bisa mengangkut banyak orang ke tempat jauh dengan kecepatan yang melebihi kemampuan perahu. Ada juga “wadah berisi air” Yang di permukaan air itu dapat memperlihatkan adegan peristiwa yang terjadi di tempat lain. Mungkin ini adalah imajinasi masyarakat di masa itu yang belum mengenal televisi, dan dalam perkembangan teknologi mutakhir berikutnya melahirkan perkakas berupa smartphone yang bisa video call.

Yang jadi masalah adalah ketika dongeng sebagai bentuk kreativitas yang lebih awal digunakan masyarakat sebelum penggunaan tulisan sebagai media untuk melestarikan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa lampau menjadi “sesuatu yang mandek”, kemudian dimaknai secara terbalik, dalam artian fiksi pada sebuah dongeng yang awalnya merupakan visi atau cita-cita masyarakat pada masa lalu dianggap fakta dan bentuk capain tertinggi masyarakat, sedangkan nilai yang ingin disampaikan justru dianggap sesuatu yang tidak penting karena hanya sebagai pemanis cerita.

Fiksi akhirnya menjadi tujuan, sedangkan visi yang mengandung nilai dan ide revolusi teknologi justru tidak terlihat. Pembaca atau pendengar dongeng terjebak pada apa yang dinamakan oleh Dan Brown dalam The Da Vinci Code dengan istilah Skotoma, yaitu sesuatu yang sebenarnya ada di depan mata tetapi tidak terlihat karena fokus kepada hal lain.

Yang saya maksud sebagai “sesuatu yang mandek” adalah ketika fiksi tidak mengalami loncatan kualitas dari sekedar gagasan fantastik dan tidak bisa melakukan perubahan inovatif yang melahirkan bentuk teknologi baru untuk mempermudah masyarakat dalam menjalani kehidupan.

Dongeng mengalami apa yang disebut oleh filsuf kosmologi Yunani yang bernama Thales sebagai “reduksi”. Kalau Thales mereduksi alam menjadi satu unsur utama yaitu air, maka dongeng tereduksi menjadi satu unsur utama berwujud fiksi. Fiksi dalam pengertian cerita imajinasi yang diyakini sebagai fakta.

Kalau dahulu kala masyarakat berhasil memadukan fakta dan fiksi menjadi karya yang memanjakan imajinasi setiap pendengarnya sekaligus tanpa disadari berhasil melestarikan nilai-nilai yang dijadikan pandangan hidup dalam masyarakat lewat perpaduan fakta dan fiksi yang disebut dongeng tersebut, maka ketika fiksi menjadi tujuan karena fiksi diyakini sebagai fakta sementara nilai-nilai yang diselipkan dalam sebuah dongeng gagal mewujudkan visi masa depan terbentuklah masyarakat baru, masyarakat yang ruang batinnya terjebak dalam nikmatnya fiksi leluhur.

Kegagalan Fiksi melakukan loncatan kualitas adalah kegagalan visioner yang tidak menghasilkan revolusi teknologi. Justru yang terjadi adalah fiksi (yang telah tereduksi) menjadi perangkat berpikir seperti seperti apa yang disebut oleh Tan Malaka dengan istilah Logika Mistika dalam MADILOG.

Tidak berhenti sampai di situ, reduksi visioner dari fiksi yang melahirkan penalaran mistik berimbas lebih jauh ketika fiksi mulai digunakan sebagai alat legitimasi politik dan Doktrin agama.

Apa betul dongeng bisa sejauh itu imbasnya?. Masak sih, CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat) kurang kerjaan memberikan proyek kepada David C. McClelland, seorang psikolog sosial untuk meneliti ribuan dongeng di berbagai negara sampai akhirnya menarik sebuah kesimpulan bahwa dongeng mempunyai kekuatan untuk mengubah seseorang. Bahwa suatu negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi karena dongengnya mengandung kehendak untuk berprestasi (The need for achievement).

Apakah kegagalan fiksi dalam dongeng kita karena tidak terselip kehendak untuk berprestasi?. Atau karena adanya gempuran politik dan Doktrin agama?.

Jawabnya tertiup di angin lalu…
(Bimbo, Melati Dari Jayagiri).

Manggar – Balikpapan
9 Mei 2024.

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button