Kisah Para Dukun

Oleh: Ickur
(Ketua LAKPESDAM NU Balikpapan)

Suatu sore aku berada di dapur untuk mengolah mie goreng instant rasa ayam geprek, padahal mie instant sangat tidak dianjurkan untuk penderita GERD. Kenapa tidak dianjurkan? Sebut sajalah pantangan, sebab mie instant terbuat dari bahan terigu, sedangkan terigu untuk bisa diolah oleh lambung butuh waktu 72 jam dan itu berefek pada peningkatan asam lambung. Dan sadisnya, ternyata mie goreng instant rasa ayam geprek itu super pedas yang juga pantangan untuk penderita GERD. Bagi kalian penderita GERD tentu dapat membayangkan sensasi yang muncul setelah mengkonsumsi menu ini. Untuk kalian yang lambungnya masih aman dari gangguan zat asam ini, tentu saja tidak akan dapat membayangkan apalagi merasakan sensasi yang ditimbulkan.

Entah mengapa pikiranku menuntun ke arah masa lalu di mana aku berada pada suatu tempat yang disebut Rumah Sakit. Saat itu sepupuku sakit usus buntu dan harus menjalani operasi. Padahal bapaknya sepupuku ini, yang merupakan paman, adik dari ibuku terkenal sebagai “dukun” Yang sering membantu orang sakit. Dukun yang kumaksud disini bukan sebagai profesi, profesi pamanku itu tentara. Aku gunakan istilah dukun untuk memudahkan penyebutan saja, pasalnya sulit bagiku untuk menggunakan istilah lain.

Begini saja, di kampungku, kalau ada orang sakit yang tergolong parah dalam cara pandang orang kampung; semisal penyakit dalam, kalau datang minta tolong ke pamanku, akan dikasih air yang telah di-do’a-i. Ini juga perlu kuperjelas, misalnya ada keluarga orang sakit yang datang ke rumahnya atau pamanku diminta datang ke rumah orang sakit, akan dikasih air (oleh pamanku). Air itu dari air kemasan, yang penting tidak tersentuh api (maksudnya bukan air yang telah direbus) lalu dibacakan do’a kemudian ditiupkan ke air itu. Dan sejauh itu, orang masih percaya akan efek positif air do’a yang diberikan pamanku. Aku juga tidak berani mengatakan bahwa air do’a dan penyakit itu punya relasi sebab-akibat dalam proses penyembuhan. Terserah kalian percaya atau tidak! Juga apakah hal ini ada relasinya dengan pembahasan Masaru Emoto dalam “The Hidden Massages In Water” yang kemudian dijadikan sebagai alat justifikasi orang-orang yang meyakini air do’a, terserah?!.

Aku kembalikan ke scene cerita ketika aku berada di Rumah Sakit. Sepupuku harus menjalani operasi dan pamanku yang diyakini orang punya “kekuatan penyembuh” Lewat air yang di-do’a-i itu mengeluh kepadaku.

“Kok, air itu gak berefek positif jika yang sakit adalah keluarga kita sendiri?!”. Kata pamanku.
###

Dalam perjalanan dari Maros ke Majene, kami mengalami kecelakaan motor. Kejadiannya puluhan tahun lalu, aku boncengan dengan teman. Tangan kiriku patah, sedangkan temanku sempat kehilangan ingatan beberapa saat mungkin akibat benturan keras di bagian dadanya. Oh iya, kami kecelakaan di Barru, dan sempat dibawa ke puskesmas terdekat. Tapi di puskesmas aku dirujuk bukan ke Rumah Sakit, melainkan ke rumah dukun ahli tulang. Aneh ya?.

Setelah tiba di kampung, ibuku berinisiatif untuk datang ke rumah dukun ahli patah tulang yang tinggal di kampung sebelah. Kalau ahli tulang yang ini metodenya unik, media penyembuhnya juga air, cuma disiramkan ke tangan kiriku yang patah dan tidak boleh diurut. Biar air itu sendiri yang bekerja. Beberapa hari kemudian…

Kulit tangan kiriku yang patah itu berjamur dan tulang yang patah itu tetap bengkok alias air itu tidak berefek positif untuk penyembuhan tangan kiriku yang patah itu.

Aku sudah setengah pasrah, mau dibawa ke Rumah Sakit takut dioperasi. Karena takut dioperasi maka kubuat pembenaran dengan mengatakan bahwa patah tulang bukan penyakit medis tapi murni ranah ahli tulang tradisional yang bernama dukun tulang. Sampai pada suatu sore, ketika sedang nongkrong di teras rumah sembari menatap lepas ke pantai Tatobo yang terhubung dengan Selat Makassar melalui Teluk Mandar, datang seorang teman yang tiba-tiba menawarkan diri untuk menemani ke dukun patah tulang kenalannya.

Dukun ini tinggal di pelosok kampung. Metodenya melalui pijat langsung tulang yang patah itu. Bayangkan saja sakitnya yang minta ampun itu. Tapi sebelum mulai praktek pijatnya, si Dukun memberikan briefing beberapa menit berupa penjelasan tentang pengalamannya selama ini dalam membantu menangani patah tulang. Ngeri juga mendengar ceritanya, katanya ada yang sembuh total seperti biasa, ada juga yang sembuh tetapi tidak total seperti biasa. Tapi semua pasien merasa sakit, bahkan ada yang sampai pingsan. Mendengar ceritanya, aku langsung berkeringat dingin.

Si Dukun juga menceritakan satu contoh kasus patah tulang yang dia tangani di mana ada seseorang yang patah kaki, dan sebelumnya orang yang patah kaki tersebut telah ditangani oleh dukun patah tulang lain yang namanya lebih masyhur di kampungku. Terjadi perbedaan pendapat yang sengit di antara kedua Dukun tulang itu, Dukun ahli patah tulang yang masyhur tersebut tidak mau kalau ada orang lain yang ikut campur dalam proses penanganan pasiennya. Sedangkan Dukun yang bercerita kepadaku itu menganggap tidak masalah menangani secara bersamaan. Alasananya, si dukun menganalogikan dengan pekerjaan sehari-hari, kalau dikerjakan banyak orang, pekerjaan tersebut akan ringan dan cepat terselesaikan.

Dari orang lain aku mendapat informasi bahwa Dukun tulang yang masyhur itu, yang tidak mau bekerja sama dengan Dukun lain tersebut ternyata pernah menangani anaknya sendiri yang patah tulang. Dan menurut informasi yang aku dengar itu si Dukun Masyhur sedikit mengeluh karena sudah sangat banyak kasus patah tulang dengan berbagai tingkat kerumitan yang Ia berhasil selesaikan, tapi patah tulang yang menimpa anaknya sendiri tak mampu ia obati.

“Kenapa si Dukun itu tidak berhasil menyembuhkan anaknya sendiri ya? “. Tanya orang yang bercerita kepadaku itu.
####

Dua pertanyaan yang telah aku uraikan di atas bertengger dalam benakku selama bertahu-tahun tanpa mendapat jawaban yang meyakinkan atau setidaknya membuatku puas. Sampai suatu hari, tidak lama setelah aku menikah dan hijrah (hijrah dalam pengertian pindah domisili secara de facto dan administratif) ke Balikpapan. Kalau tidak salah ingat, sekitar tahun 2013 awal, ketika Blackberry belum runtuh. Ponsel Blackberry ini yang kemudian kugunakan untuk mendownload file berbetuk pdf berisi cerita silat (cersil) berjudul Naga Sasra dan Sabuk Inten karya sang maestro cersil SH. Mintardja.

Cerita silat yang berhasil menciptakan karakter Mahesa Jenar yang oleh tim sepak bola asal kota Semarang yaitu PSIS dijadikan nama julukan “Laskar Mahesa Jenar”. Di dalam cersil ini di bagian awal muncul karakter Dukun bernama Ki Asem Gede yang diceritakan punya menantu bernama Wirasaba, seorang pendekar pilih tanding yang mengalami kelumpuhan karena terkena racun saat duel melawan musuhnya. Meskipun memenangkan pertarungan, tetapi kakinya lumpuh total. Ki Asem Gede yang teah berhasil mengobati banyak orang, bahkan terhitung ribuan sepanjang karirnya ternyata tidak mampu mengobati menantunya.

SH. Mintardja menjelaskan dalam cersil itu bahwa ketidak mampuan Ki Asem Gede sebagai Dukun sakti untuk mengobati menantunya sendiri merupakan tanda kebesaran Sang Pencipta. Sebagai pelajaran bagi manusia supaya tidak sombong dan takabbur karena setiap manusia punya kelemahan. Seseorang juga tidak akan dapat menyelesaikan segala sesuatu sesuai kehendaknya sendiri. Di sinilah manusia dituntut untuk berbesar hati melihat kelemahan sendiri dan tidak merasa canggung apalagi malu meminta pertolongan kepada orang lain.

Karena ini bukan spoiler atau sinopsis cerita silat, silahkan baca sendiri kalau mau tahu kalimat yang persis dikatakan oleh SH. Mintardja. Yang jelas, hal tersebut selain menjawab pertanyaan yang sebelumnya tak terjawab dan tersimpan di kepalaku, juga menjadi pelajaran berharga bagiku. Pelajaran untuk tetap rendah hati (bukan rendah diri), tidak takabbur, dan tidak segan untuk meminta pertolongan, apalagi memberi pertolongan kepada orang lain yang membutuhkannya.
###

Pamanku yang kusebutkan di awal cerita ini telah wafat beberapa tahun yang lalu. Teman yang bersamaku mengalami kecelakaan motor yang berakibat patahnya tangan kiriku beberapa tahun lalu juga telah meninggal dunia persis sehari setelah video call perpisahan denganku. Teman yang mengantarku ke Dukun tulang itu setelah Idul Fitri tahun lalu terserang penyakit stroke, sempat dilarikan ke rumah sakit namun akhirnya meninggal dunia. Terakhir, Dukun tulang yang berprinsip bahwa kerjasama akan meringankan pekerjaan itu juga telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.

Demikianlah kisah para Dukun ini, bagi kalian yang sempat membaca tulisan ini, mohon keikhlasannya untuk mengirimkan do’a kepada mereka yang kusebutkan di atas dan telah mendahului kita.*

Pesantren Miftahul Ulum
Manggar Balikpapan
19 Mei 2024.

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button