Meraih Prestasi Tertinggi

Harta, Tahta, dan Kuota

Oleh: Ickur

(Ketua LAKPESDAM NU Balikpapan).

Pernah tidak kalian mendengar ungkapan; harta, tahta, dan wanita?. Ungkapan ini sangat familiar, tapi sampai sekarang saya tidak tahu siapa yang pertama kali mengungkapkan istilah ini? Juga tidak tahu kapan istilah ini pertama kali diucapkan sampai menjadi ungkapan populer. Harta adalah simbol kekayaan, tahta merupakan simbol kekuasaan sedangkan wanita?. Ayo, wanita simbol apa?.

Penganut Feminisme mungkin (atau hampir pasti) akan menuding ungkapan ini adalah realisasi dari cara pandang patriarki yang menganggap perempuan hanya sebagai objek kekuasan laki-laki. Meskipun kedua simbol yang disebut sebelumnya adalah objek dari kehendak untuk berkuasa, atau dalam nomenklatur akademisnya disebut ekonomi dan politik, tetapi perempuan secara faktual bukanlah objek, melainkan subjek yang bisa berpikir, berperasaan, dan tentu juga punya hasrat yang sama dengan laki-laki yaitu kehendak untuk berkuasa.

Mengikuti alur berpikir di atas, nampak ungkapan “harta, tahta, dan wanita” Sangat bias gender, buah dari sistem patriarki yang paradigmanya menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai oposisi biner atau sesuatu yang saling berlawanan. Dari sini muncullah istilah lain; lawan jenis. Laki-laki dan perempuan dilihat sebagai lawan jenis.

Jika penempatan laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang berlawanan, atau dalam cara pandang patriarki, perempuan dianggap sebagai objek yang harus ditundukkan untuk menyempurnakan capaian kekuasaan, maka terjadi ambiguitas. Di satu sisi dianggap perempuan sebagai lawan jenis, tapi di sisi lain (masih dari pihak patriarki) dianggap sebagai pasangan hidup.

Di kemudian hari cara pandang ini digugat. Gugatan muncul dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang menggugat kehendak berkuasa patriarki dengan mengikuti alur patriarki itu sendiri, mereka menggugat dengan mengikuti alur oposisi biner di mana laki-laki dan perempuan adalah lawan jenis yang harus saling menundukkan.

Yang saya maksud dengan “Mereka yang menggugat” Di sini bukanlah semata dilontarkan oleh perempuan (meskipun mayoritas di antaranya) tetapi dari kalangan laki-laki pun mulai mengkritik sistem patriarki ini. Mekipun ada tudingan lain yang muncul bahwa kritikan terhadap sistem patriarki dari kalangan laki-laki hanyalah sekedar wadah untuk mengucurkan dana dari lembaga donor internasional.

Yang unik (meskipun kalian mengatakan ini tidak nyambung dengan tema pembahasan), ketika almarhum Langit Kresna Hariadi menerbitkan novel pancaloginya yaitu Gajah Mada, selalu terselip kisah-kisah yang menampilkan kesan (kalau tidak) men-judge perempuan sebagai sosok yang tidak beres dengan berbagai skandal seksual. Dan meskipun bukan dalam kerangka debat yang mengkritisi kuatnya sistem patriarki, Hermawan Aksan berusaha meng-counter karya Langit Kresna Hariadi tersebut dengan membuat novel Dyah Pitaloka; Senja Di Langit Majapahit dan Niskala; Gajah Mada Musuhku. Ini merupakan hal yang positif, karena karya sastra berbalas karya sastra, bukan makian dan persekusi.

Untuk menghilangkan kesan perlakuan tidak setara antara laki-laki dan perempuan, pemegang kekuasaan kemudian membuka akses yang lebar di ruang publik dengan memberi alokasi jatah sekian persen kepada parempuan. Kalau saya lihat, ini justru membawa masalah baru. Yang ada bukannya kesetaraan tetapi memperjelas bahwa kemampuan perempuan berada di bawah subordinasi laki-laki. Kalau mau adil kompetisi saja, yang punya kapasitas apa pun jenis kelaminnya akan menang. Jangan dikejar lagi dengan mengatakan, kompetisi kan watak liberalisme!!!. Pertarungannya tidak adil, karena yang memiliki sumber dayalah yang akan keluar jadi sebagai pemenang.

###

Setelah melihat jejak sistem patriarki dalam ungkapan “Harta, Tahta, dan Wanita”, apakah masih relevan menggunakan adagium tersebut sebagai standar capaian tertinggi dalam hidup?. Ataukah perlu direvisi dengan adagium baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman dan lebih familiar dalam imajinasi generasi Z yang tidak bias gender?.

Harta memang tidak bisa dihilangkan dari imajinasi tiap generasi di zaman apa pun. Kalau ini tidak terlalu ceroboh untuk menyimpulkan bahwa motor penggerak kehidupan atau motif dari segala tindakan manusia adalah berburu harta, mengumpulkan, dan melipat gandakan. Setelah itu, mempertahankan capaian ekonomi tersebut dengan kekuasaan politik.

Tapi coba bayangkan jika dunia yang saat ini telah sampai pada fase perubahan yang super cepat ini tiba-tiba kembali melambat. Selanjutnya, ruang gerak kembali memyempit. Peristiwa yang terjadi di belahan dunia yang teramat sangat jauh dari tempat kita berada yang bisa kita saksikan dalam waktu yang super cepat tiba-tiba berbalik arah, dalam artian waktu aksesnya sangat lambat dan ruang yang tersaji hanyalah sejauh mata memandang di sekeliling kita. Satelit dan jalinan kabel yang menjadi pemancar jaringan informasi tak berfungsi, internet mati.

Kiranya internet saat ini menjadi kebutuhan primer bagi hampir seluruh manusia di dunia ini, dan internet bisa diakses jika paket data berupa kuota internet tersedia. Tentu kita tidak ingin kembali ke zaman Batu, zaman di mana internet hanyalah fiksi dalam sebuah dongeng. Kembali ke zaman masyarakat primitif, masyarakat tanpa perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan.

Dan tentu saja kita butuh ungkapan baru yang bebas nilai (kalau ada yang bebas nilai) sebagai ukuran tertinggi prestasi yang harus diraih oleh seseorang dalam hidup ini. Sebut saja adagium itu; Harta, Tahta, dan Kuota.*

Pesantren Miftahul Ulum

Manggar – Balikpapan

11 Mei 2024, Ketika Awan Kelabu Menutupi Separuh Langit.

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button