Siluet Akhir Ramadhan; Euforia Idul Fitri dan Pengemplangan Zakat

Siluet Akhir Ramadhan; Euforia Idul Fitri dan Pengemplangan Zakat
Oleh: Ickur
(Komunitas Disorientasi)

Kata temanku, kalau jelang lebaran ayat-ayat yang dikutip para Da’i ketika mereka berceramah diantara waktu shalat Isya’ dan Shalat Taraweh itu adalah ayat-ayat tentang perintah zakat, Infaq dan Sedekah. Beda saat di awal Ramadhaan, ayat-ayat yang dikutip adalah perintah berpuasa, amalan-amalan saat berpuasa dan keutamaannya. Hampir bersamaan dengan semakin berkurangnya jamaa’ah shalat taraweh di masjid-masjid dan semakin padatnya pusat perbelanjaan, yang ini bukan kata temanku, tapi aku lihat sendiri alias aku diantara mereka yang awalnya menjadi jama’ah shalat taraweh yang memadati masjid sekarang memadati Mall atau market offline sejenisnya. Padahal market online sudah bertebaran dan dapat diakses mudah via gadget. Harusnya bisa kita gunakan mengirit ruang dan waktu untuk tetap bisa berkonsentrasi dalam beribadah di akhir Ramadhan ini.

Tak perduli lebaran tahun ini bersamaan atau tidak (karena ada beberapa organisasi kemasyarakatan yang telah memutuskan hari lebaran tanpa menunggu sidang isbat dari pemerintah) masyarakat seolah terjamgkit FOMO (Takut ketinggalan Momentum) setelah dua atau tiga tahun ke belakang harus berlebaran sembari mendekam di rumah karena di luar dibatasi oleh berbagai macam peraturan untuk saling menjaga jarak, di akhir Ramadhan tahun ini jalanan seperti mempertontonkan parade kendaraan yang membentuk garis panjang dan padat menyebabkan kemacetan di tiap waktu menjelang berbuka puasa. Padahal ada juga larangan dari pemerintah untuk tmengadakan buka pusa bersama bagi ASN-PNS.

Arus kendaraan ini berbaris menuju kota, menuju Mall dan pusat perbelanjaan sejenisnya, membuat metamorfosis jama’ah taraweh menjadi jama’ah thawaf, bukan thawah di Baitullah tapi thawaf di Mall. Bukan lagi dipicu oleh semangat melipatgandakan amal ibadah di bulan Ramadhan, tetapi euforia untuk menyambut Idul Fitri dengan memamerkan pakaian baru. Seolah mengabaikan pesan-pesan moral spiritual dari para penceramah yang berbusa-busa menjelaskan hikmah Ramadhan untuk dapat menahan diri dari godaan hasrat dan keakuan sarta hendaknya bisa merasakan rasa prihatin yang menimpa kaum dhuafa; fakir (tidak punya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup), miskin (punya penghasilan tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup), dan gharim (orang yang terlilit hutang).

Tapi bagaimana pun, perintah membayar zakat tidak dapat diabaikan karena termasuk dalam salah satu dari lima rukun Islam. Zakat fitrah diwajibkan kepada orang yang mampu memenuhi kebutuhan pokok makanan bagi dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahinya pada malam lebaran dan hari lebaran, memiliki pakaian dan rumah yang layak, serta tidak berhutang. Sedangkan bagi orang yang memiliki simpanan harta senilai (nishab) 85 (delapan puluh lima) gram emas atau sekitar Rp. 85. 000.000,- (delapan puluh lima juta rupiah) dan dimiliki penuh selama satu tahun hijtiyah (haul), diwajibkan untuk mengeluarkan zakat mal (harta) sebesar 2,5 % (dua koma lima persen).

Orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik) adalah fakir, miskin, petugas zakat (amil), orang yang baru masuk Islam (muallaf), Memerdekakan Budak (Riqab), orang yang terlilit hutang (gharim), orang yang berjuang di jalan Allah (fisabilillah), dan Musafir (ibnu sabil). Sedangkan orang yang tidak berhak menerima zakat adalah Keturunan Rasulullah (Bani Hasyim), orang kaya, orang yang dinafkahi oleh orang yang berzakat, serta non muslim.

Sekedar jadi perhatian, sebagai kisah penutup tanpa bermaksud menyinggung perasaan siapa pun, ketika seorang Ustadz Kondang dibully oelh netizen karena dituding memeras jama’ahnya dengan menggunakan Zakat, infaq, dan Sedekah sebagai dalil untuk membenarkan tindakannya, pada saat bersamaan banyak masyarakat yang salah kaprah dan tidak bisa membedakan pengertian dari nomenklatur tersebut, yakni zakat, infak dan sedekah, serta ketentuannya. Akibatnya jadi rancu. Misalnya, seorang yang mengaku keturunan Rasulullah menyindir jamaahnya yang menurutnya memiliki gaji yang besar, katanya si fulan tidak mau keluarlan zakat harta tiap bulannya, dan kalau pun si fulan tersebut keluarkan zakat yang dikasih adalah keluarga terdekatnya. Rancunya di mana?. Pertama, si Keturunan Rasulullah ini tidak berhak menerima Zakat dan sedekah. Kedua, zakat dan sedekah dianjurkan untuk memprioritaskan keluarga terdekat. Dan ketiga, si Fulan tadi setelah dikalkulasi hartanya tidak memenuhi nishab dan haul, jadi tidak diwajibkan untuk mengeluarkan harta. Dan parahnya lagi, gara-gara menjelaskan hal ini aku jadi dimusuhi oleh mereka yang berkepentingan dengan “pengemplangan” zakat, infak, dan sedekah ini.

Semoga lebaran tahun ini, kita semua bisa meraih kemenangan zhahir dam bathin. Tidak seperti yang tergambar dalam puisi karya almarhum Sitor Situmorang;

Malam Lebaran
Bulan di atas Kuburan

(Wallahu a’lam bis shawab).*

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button