Jelajah Pasar; Warung Makan, Lahan Parkir dan Fluktuasi Harga

Jelajah Pasar; Warung Makan, Lahan Parkir dan Fluktuasi Harga
Oleh: Ickur
(Komunitas Disorientasi)

Kemarin (Ahad, 19 Maret 2023) aku mengantar Istriku untuk belanja kebutuhan dapur di pasar Manggar. Kami berangkat lumayan pagi, persisnya pukul berapa aku tidak tahu. Sempat di perjalanan aku tanyakan ke istriku pukul berapa sekarang?, jawabnya juga tidak tahu. Untuk konfirmasi waktu, bisa saja aku menghentikan laju motor dan membuka aplikasi jam digital di HP, tapi malah akan menyita waktu di perjalanan (konfirmasi waktu justru membuang waktu). Jadinya, penanda waktu kami “kepagian” berangkat ke pasar adalah karena warung nasi uduk yang berada di sebelah kiri jalan Wulawarman sebelum jembatan Manggar masih tutup. Padahal dalam hitunganku warung itu tentu sudah buka kalau merujuk waktu operasi warung induknya yang ada di sisi gerbang masuk jalan PJHI.

Sebelum berangkat dari rumah, Istriku mengajak untuk singgah makan nasi uduk, tapi karena warungnya tutup, terpaksa kami memilih menu alternatif, dan pilihan kami jatuh pada nasi kuning sebagai menu sarapan, menu ini yang paling familiar di pagi hari, kalau dibuat perbandingan dengan warung / atau lapak nasi uduk di jalan yang kulalui dari Pesantren Miftahul Ulum menuju pasar Manggar sekitar 1 : 15 atau bahkan lebih (butuh survey lanjutan untuk validasi data ini).

Setelah melewati lapak nasi uduk yang masih tutup, aku sempat berasumsi bahwa mereka sudah tutup permanen dengan kemungkinan omset harian yang tidak bisa menyamai dengan lapak pusatnya di PJHI. Padahal cerita dari seorang anggota Komunitas Disorientasi yang merujuk pada informasi dari temannya yang merupakan juragan bubur ayam, prospek usaha warung makan di sekitar Manggar (dari Asrama Haji sampai Jembatan Manggar) sangat menjanjikan, makanya si Jurangan Bubur berani buka cabang di sekitar Manggar. Tapi asumsi nasi uduk tutup permanen terbantahkan karena ketika kami pulang dari pasar, istriku berkata setengah berbisik “itu nasi uduknya buka, kita aja yang kepagian”.

Setelah mengisi perut di warung nasi kuning depan asrama tentara sebelah kiri jalan dari pasar Manggar, kami menuju ke pasar untuk menjalankan misi utama pagi ini, aku memilih memarkir motor seberang pasar, karena parkiran di sisi jembatan sudah sangat padat kendaraan, di situ terdapat tiga lapak parkir; pertama, dari jalan masuk pasar sampai ke sepanjang jembatan padahal di situ terdapat plang larangan parkir. Kedua, depan toko plastik sampai ke sekitar toko kosmetik, dan area ketiga, dari depan toko kosmerik sampai ke jalan perempatan belok kiri memuju pasar. Di seberang jalan juga terdapat dua lapak parkir, tempat di mana aku sering memarkir motor. Jadi di sisi kiri kanan Jalan raya saja sudah terdapat lima lapak parkir.

Kali ini Istrriku tidak butuh waktu yang lama dalam jelajah pasar, atau mungkin waktu yang tidak terasa bagiku karena sembari bermain HP saat menunggu di tempat parkir. Di jalan pulang, Ia mengeluhkan harga kebutuhan dapur, katanya melonjak tinggi menjelang bulan puasa, tapi saat aku konfirmasi perbandingan harga sebelumnya dan harga sekarang, Ia tidak bisa dijawab dengan pasti, katanya ini sudah kejadian berulang selama bertahun-tahun.

Benarkah fluktuasi harga sembako di pasar tradisional ditentukan oleh momentum berulang seperti bulan puasa? Atau ada faktor lain yang menjadi pemicu fluktuasi harga yang terjadi di pasar, seperti harga minyak goreng yang sempat berkali-kali menunjukkan parade antrian panjang di beberapa Mart?, Entahlah. Yang pasti Volatilitas harga sembako tidak se-fluktuatif harga Crypto yang bisa berubah nyaris dalam setiap hitungan detik!.

Kami tiba kembali di rumah dalam keadaan perut masih kenyang, sajian nasi kuning yang kami santap sebagai menu sarapan porsinya jumbo, padahal harganya sangat terjangkau, dari dua porsi makan plus minum Istriku cuma membayar dua puluh empat ribu rupiah. Murah kan?.*

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button