“Jaring-Jaring Kehampaan”

“Jaring-Jaring Kehampaan”

Oleh: Ickur

Komunitas Disorientasi

Di sebuah desa kecil yang terisolasi, terdapat sebuah kampung di tengah hutan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat. Di sana, kehidupan masyarakat tercermin dalam sebuah tradisi yang telah ada sejak zaman nenek moyang mereka.

Setiap pagi, seorang pemimpin desa mengeluarkan sebuah jaring-jaring besar di lapangan terbuka di tengah kampung. Jaring-jaring itu dikenal sebagai “Jaring-Jaring Kehampaan”. Masyarakat diberitahu bahwa siapa pun yang melanggar aturan sosial yang telah ditetapkan akan terjebak dalam jaring-jaring tersebut.

Salah satu aturan yang ada adalah larangan berbicara atau berinteraksi dengan orang asing yang datang ke desa. Masyarakat meyakini bahwa orang asing dapat membawa malapetaka dan mengganggu kehidupan yang mapan mereka. Jika ada yang melanggar aturan ini, mereka akan ditangkap dan dihukum.

Begitu setiap anak baru atau orang asing datang ke desa, mereka langsung merasakan ketegangan dan kecurigaan dari masyarakat. Mereka dipandang sebagai ancaman bagi keseimbangan yang telah ada. Masyarakat menolak berinteraksi dengan mereka, bahkan berusaha mengusir mereka jika melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Salah satu anak baru yang datang ke desa adalah Wisnu. Dia adalah anak yang pandai bergaul, ingin belajar, dan menjalin persahabatan dengan penduduk desa. Namun, setiap kali Wisnu mencoba berbicara dengan warga desa, dia mendapat tatapan yang dingin dan diabaikan. Masyarakat tidak mau mendengarkan alasan atau mengerti niat baiknya.

Wisnu merasa terisolasi dan terjebak dalam jaring-jaring kehampaan itu. Dia merasa putus asa, tapi dia tidak menyerah. Dia memutuskan untuk membantu masyarakat dalam beberapa kesulitan yang mereka hadapi, seperti memperbaiki jembatan yang rusak dan memberikan pertolongan ketika ada yang sakit.

Melalui perbuatan baiknya, lambat laun masyarakat mulai membuka hati dan melihat kebaikan Wisnu. Mereka mulai mempertanyakan kebenaran aturan-aturan yang telah mereka anut begitu lama. Beberapa orang mulai memperhatikan bahwa larangan berinteraksi dengan orang asing sebenarnya hanya memperburuk situasi dan membatasi pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Akhirnya, ketika pemimpin desa mencoba menahan Wisnu dalam jaring-jaring kehampaan, masyarakat bersatu untuk melawan. Mereka menyadari bahwa mereka telah terperangkap dalam sebuah siklus yang tidak sehat dan tak berdasar. Mereka menginginkan perubahan, dan Wisnu menjadi simbol perlawanan dan kebebasan dari batasan sosial yang telah mereka anut begitu lama.

Akhirnya masyarakat desa memutuskan untuk menghapus aturan-aturan yang tidak rasional dan merugikan. Mereka berkomitmen untuk menjalin hubungan dengan orang asing, belajar dari pengalaman mereka, dan membuka diri untuk perubahan dan kemajuan. Dalam perubahan ini, mereka menemukan kebebasan dan harapan baru yang sebelumnya tersembunyi di balik jaring-jaring kehampaan*

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button

You cannot copy content of this page