Generasi Z; Memahami Identitas dan Jebakan Algoritma
Generasi Z; Memahami Identitas dan Jebakan Algoritma
Oleh: Ickur
(Ketua LAKPESDAM NU Kota Balikpapan)
Pekan terakhir tahun 2023, aku menghadiri undangan sebagai salah seorang panelis diskusi yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa dari berbagai kampus di Balikpapan. Tema yang didiskusikan adalah pelanggaran HAM dan politik identitas, dari tema yang dibicarakan ini kalian sudah bisa menerka siapa penggagas dan pelaksana kegiatan ini, mungkin secara personal susah ditebak tapi secara afiliasi dan dukungan di pilpres 2024 tentu sangat mudah diterka. Tapi karena aku bukan bagian dari tim pemenangan apalagi pendukung fanatik salah satu capres maka aku tidak meng-endorse pasangan capres-cawapres manapun. Aku hanya akan fokus pada diskusi bersama mahasiswa di pekan terakhir tahun 2023 tersebut.
Sebenarnya ini kali kedua aku diundang untuk menjadi panelis diskusi oleh panitia pelaksana, tapi pada diskusi pertama yang dirangkai dengan nonton bareng debat cawapres aku tidak hadir dengan alasan; pertama, kurang enak badan (ini yang kukatakan kepada panitia). Kedua dan ini menjadi alasan utama aku menolak hadir, karena aku diminta mengomentari hasil debat cawapres dengan “catatan penting” harus mengunggulkan salah satu cawapres, dan menghabisi dua cawapres lainnya.
Lah, kenapa pada putaran kedua diskusi ini aku memilih hadir padahal tema yang diberikan sudah sangat “jelas bin valid” memarginalisasi dua capres dan mengunggulkan satu capres lainnya?!. Untuk menjawab pertanyaan yang kubuat sendiri ini memang tidak mudah jika ingin tetap terlihat netral pada pilpres 2024 yang akan datang (netral yang kumaksud di sini bukan berarti tidak memilih, aku tetap akan menggunakan gak memilih pada pilpres nanti, tapi aku tidak ikut politk praktis alias kegiatan dukung mendukung secara fanatik) . Tapi aku melihat celah sekaligus kesempatan untuk mengambil peran (meskipun teramat sangat kecil) dalam pendidikan politik dan usaha mewujudkan pemilu Damai tanpa isu SARA sekaligus melakukan uji materil terhadap asumsi bahwa Generasi Z adalah pemilih emosional karena seratus persen diskusi ini dihadiri oleh mahasiswa yang menjadi bagian dari Generasi Z.
Oh iya, kegiatan FGD ini diadakan di kafe yang berlokasi di salah satu perumahan elit di Balikpapan, dihadiri lima puluh peserta. Kafe ini memang kondusif untuk kegiatan diskusi karena jauh dari kebisingan musik latar yang biasanya mengalun di kafe-kafe.
Dugaan awal yang muncul di benakku ketika tiba di kafe ini adalah “motor penggerak” antusiasme peserta adalah “free” Minuman dan snack plus pulangnya masih mendapat uang transport. Tapi tidak masalah, untuk membangun budaya diskusi memang butuh modal, termasuk harus berani “take and give” dengan “bandar” yang mendanai kegiatan ini untuk melakukan kampanye terselubung dibalik kegiatan Focuss Grup Discussion (FGD). Aku katakan kampanye terselubung, karena ini memang kegiatan yang didanai oleh tim pemenangan salah satu pasangan capres-cawapres. Nah, inilah yang tadi aku sebut sebagai celah yang bisa dimanfaatkan sebagai usaha untuk mendidik Generasi Z yang sebelumnya kuasumsikan sebagai pemilih emosional.
Saat pemaparan materi diskusi, aku menjadi pembicara kedua dan kupilih memaparkan materi dengan durasi waktu yang sangat singkat, kurang dari lima menit. Dengan asumsi (yang kusampaikan juga saat memaparkan materi) bahwa Generasi Z adalah orang-orang yang fokusnya dalam menyimak sesuatu itu sangat singkat karena telah dikonstruk dan didisiplinkan oleh platform-platform media sosial yang disajikan dengan durasi sangat singkat seperti Reel, Tiktok, dan Youtube Shorts.
Selain itu, Generasi Z adalah generasi yang minim literasi (bukan miskin literasi), sumber informasinya hampir terfokus sepenuhnya pada media sosial yang tersaji secara tidak utuh, hanya berupa quote singkat, meme, dan yang paling parah karena “hampir tidak disadari” adalah permainan algoritma yang menggiring netizen untuk dikelompokkan ke dalam barisan berdasarkan “rasio klik” pada minat yang sama. Sederhananya, pikiran dan perasaan Generasi Z dikendalikan oleh algoritma media sosial sehingga dalam menilai sesuai parameternya adalah “suka atau tidak suka”. Ini yang aku sebut dengan istilah minim literasi. Tidak terbiasa, atau tepatnya tidak mau repot untuk mengklarifikasi informasi dan membandingkannya dengan informasi lain, dari sumber yang lain.
Setelah menjelaskan “watak” Generasi Z secara relasional yang nyaris tanpa putus dengan media sosial (dari bangun tidur sampai tidur kembali), aku paparkan politik identitas dalam tinjauan postulat berpikir logika formal. Politik secara sederhana adalah usaha mendapatkan, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan, sedangkan identitas adalah sesuatu yang identik berarti “sama”, lawan dari “berbeda”.
Dalam logika formal, hukum identitas digambarkan secara matematis; A = A (A sama dengan A), A tidak sama dengan non A, dan Tidak ada jalan tengah, maksudnya tidak ada A yang pada saat bersamaan dia adalah A tapi juga bukan A. Secara teori, hukum identitas menepis semua jalan untuk menyamakan sesuatu yang berbeda, jika A adalah benar, maka non A pasti tidak benar (jika hukum identitas digunakan dengan pendekatan benar-salah). Kalau pendekatan ini diterapkan dalam realitas sosial, ujungnya akan terjadi konflik karena masing-masing merasa benar sedangkan yang lain dianggap salah.
Dalam dunia digital, algoritma agaknya mengikuti alur logika formal. Semua yang identik akan diklasifikasikan dalam kelompok yang sama dengan rekomendasi yang muncul secara otomatis di platform media sosial. Rekomendasi ini akan muncul terus menerus nyaris tanpa jeda selama netizen tidak menyadari pola kerja algoritma ini dan merusaknya dengan cara mengimbangi atau memperbanyak “rasio klik” Wacana pembanding.
Apa yang aku asumsikan di awal sebagai watak Generasi Z yang dikategorikan ke dalam pemilih emosional, minim literasi karena hanya bertumpu pada media sosial sebagai sarana utama untuk memperoleh pengetahuan, dan durasi fokusnya sangat singkat ternyata disanggah dengan adanya respon dari beberapa peserta. Ada yang merasa kurang puas dengan diskusi karena durasi sangat singkat, ada juga yang meminta masukan cara menghindari jebakan algoritma media sosial. Meskipun peserta yang merespon balik diskusi ini berupa pernyataan dan pertanyaan kurang dari seperempat jumlah peserta yang hadir, yang jelas ini bisa menjadi awal untuk membangun cara berpikir kritis Generasi Z, sehingga bisa keluar dari siklus efek negatif algoritma platform media sosial.
Kiranya diskusi seperti ini bisa massif terjadi di kalangan Generasi Z tentu akan terbentuk kultur berpikir kritis, berbagi informasi, dan saling memperkaya pengetahuan satu sama lain sehingga efek negatif dari teknologi informasi seperti hoaks dan ujaran kebencian bisa diredam.
Terakhir aku menyampaikan kepada peserta diskusi untuk konsisten menginvestasikan waktu minimal lima belas menit untuk meng-update pengetahuan dan meng-upgrade skill sesuai minat masing-masing dengan mengakses konten-konten pembelajaran yang tersaji di media sosial sehingga kecepatan perubahan teknologi informasi bisa diimbangi, bukan malah menjadi konsumen “sampah” Teknologi informasi yang sudah usang di tempat asalnya dan memakan korban orang-orang gagal melihat kecepatan perubahan zaman.*
Manggar, Balikpapan Timur
3 Januari 2024
Ketika rembulan tertutup awan hitam di awal malam.