Baitun Ni'mah

Oleh: Ickur
(Komunitas Disorientasi)

Sabtu sore diguyur hujan setengah hati, kata orang, hujan seperti ini selalu awet hingga malam tiba. Saat kondisi kesehatanku drop, meriang, bibir dan lidah ditumbuhi sariawan serta tenggorokan terasa dihuni benda asing yang menempel sejak semalam, juga hidung yang memproduksi “cairan lengket” tanpa henti. Kompleks, kan, Masalahku(?).

Baiklah supaya aku tidak dicerca oleh para Jomblowan dan Jomblowati di akhir pekan, sebaiknya aku lanjutkan dengan kata “tapi”, untuk mengesankan bahwa mereka “yang sendiri” melewati sabtu malamnya itu lebih dramatis dari pada deritaku. Apa tapinya?, “Tapi aku punya istri yang setia di sampingku di saat-saat rapuh seperti ini”.

Usai menyantap menu makan siang yang disajikan secara khusus oleh istriku untuk memancing seleraku yang ikut “down” seiring kondisi kesehatan sedang drop, oh iya, makan siang ini bergeser ke sore karena sarapan pagi juga bergeser ke waktu siang. Hal ini jangan ditiru ya, apalagi bagi para mengidap masalah asam lambung, bisa-bisa kalian mengalami GERD (pembahasan GERD akan aku bahas pada tulisan yang lain).

Untuk menunggu jarak ideal dari waktu setelah makan ke waktu meluruskan badan di pembaringan, aku duduk di sofa ruang keluarga, menghadap ke arah smart TV yang terpasang di dinding rumah beberapa langkah di hadapan sofa. Kalian bayangkan saja setting suasananya seperti yang ditampilkan ‘scene” di iklan dan tayangan TV berlatar ruang ramu yang ada sofa dan smart TVnya, mirip-mirip itulah.

Aku mainkan remote control, lalu membuka akun Netflix, bersiap untuk melanjutkan tontonan semalam yang tidak sempat kelar gara-gara rasa kantuk tak tertahan. Jangan bilang aku kaya, ya!!! Karena punya akun netflix, artinya punya alokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan entertainment. Salah. Pendapatan bulananku masih jauh di bawah Upah Minimum Kota. Lalu, anggaran untuk akun netfix dari mana? Nah, kalau kalian pernah mendengar bisnis netflix lagi goyang alias mengalami kerugian, di samping akibat bermunculannya perusahaan aplikasi pesaing yang menawarkan konten yang sama, juga karena di toko online banyak dijual murah akun patungan. Dari sini akun netflix yang kuakses berasal.

Sore ini aku menyelesaikan tontonan yang tertunda semalam, sebuah film biografi produksi India tahun 2022 yang berjudul “Gangubai Kathiawadi”. Tapi karena tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan “spoiler” film, jadi tonton aja sendiri!. Aku hanya tiba-tiba teringat kisah yang hampir sama setting suasananya, kisah ini mirip dengan yang dialami seorang kawan, dari segi usia dia jauh lebih tua di atasku, tapi kami sama-sama sedang menjabat sebagai Kepala di Madrasah yang berbeda tentunya.

Madrasah kawanku ini tidak terlalu jauh dari Madrasah tempatku mengajar masih dalam kecamatan yang sama. “jangan sebut namanya B*nga” karena dia bukan korban pemerkosaan, lagian dia Laki-laki, bukan Perempuan sedangkan figur sentral dalam film itu adalah perempuan yang bernama Gangubai.

Dalam tulisan ini. Nama beliau dan Madrasahnya, harus kusamarakan (aku sudah minta izin ke beliau untuk publikasikan tulisan ini. Katanya “selama untuk kebaikan, gak masalah”). Tapi sebaiknya aku pilih aman saja dulu dengan disclaimer “kisah ini hanyalah fiktif belaka, jika ada penggunaan nama orang dan nama tempat yang sama itu hanyalah faktor kebetulan’, aman kah?.

Madrasah yang dipimpin Kawanku itu berada di kampung yang sangat “iconik” dengan citra maksiat, orang yang tinggal di kampung itu pun seakan tabu menyebut nama kampung itu karena pasti yang muncul dalam pikiran orang yang mendengarnya adalah lokalisasi pekerja seks, tempat yang dipenuhi oleh aktivitas maksiat dalam kacamata agama, dalam cara pandang ormas paramiliter tempat ini adalah mesin yang memproduksi duit untuk mereka dengan cara menawarkan backup keamanan. Dari segi ekonomi, masyarakat sekitar diuntungkan, dengan banyaknya pelanggan yang datang dari luar berarti kampung jadi ramai, ini berarti peluang untuk ikut menikmati untung dengan membuka warung, kafe atau angkringan semakin besar.

Seberapa banyak pihak yang diuntungkan dan berapa pun banyaknya untung yang didapat tetapi hal itu tetap tidak bisa menghapus stigma dan cap buruk yang di dapatkan oleh para pekerja seks tersebut. Meskipun, “mungkin” tanpa sepengetahuan orang lain dan memang tidak perlu diketahui orang lain (termasuk sesama mereka sendiri) mereka menangis memanjatkan do’a dan memohon ampun kepada Sang Pencipta atas segala dosa-dosa yang telah “mereka” lakukan. Kata mereka dengan tanda petik untuk menghindari kesan oposisi biner dengan “kita”. Dimana ketika terjadi oposisi biner antara “mereka” dan “kita”, berarti kita telah merasa bahwa kita tidak berdosa atau setidaknya dosa kita tidak sebesar mereka. Justru sikap seperti inilah yang bermasalah.

Saking tabunya mendekati tempat ini secara terang-terangan (entahlah jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi) Suatu ketika ada seorang Da’i berdakwah di tempat seperti ini, si Da’i ini banyak mendapat kritikan nyaris berbentuk hujatan dari “Ahli Agama” seakan apa yang dilakukan oleh Da’i ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Seakan tempat ini yakni lokalisasi alias Rumah Kenikmatan atau selanjutnya aku sebut dengan Baitun Ni’mah, adalah tempat yang harus dijauhi dan tidak boleh didekati sama sekali dengan alasan apapun.

Baitun Ni’mah dari kata bait yang berarti rumah dan ni’mah yang artinya kenikmatan, rumah yang menawarkan kenikmatan kepada pencari kenikmatan seksual demi memuaskan syahwat untuk sementara. Sejauh ini yang aku tahu, bahwa transaksi di baitun ni’mah adalah transaksi “pasangan jenis’ yaitu antara perempuan pekerja dengan seks sebagai komoditi dan laki-laki sebagi pelanggan. Aku belum pernah mendengar isu adanya transaksi sesama jenis di tempat itu. Entahlah. (Bersambung )

Balikpapan, 20 Februari 2023
(Saat petir menggelegar menyela hujan di awal malam)

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button