Pop Culture: Merayakan Subversifitas Penjahat Kelas Kakap

Charles Manson adalah pria AS yang terobsesi jadi penyanyi tenar melebihi Beatles ini membunuh Margaret Tate—istri sutradara Roman Polanski—dan tiga orang kawannya. Manson yang melancarkan aksi pembunuhan bersama tiga orang pengikutnya tak segan menusuk-nusuk tubuh Tate yang tengah mengandung.

KISAH tersebut, catat Guardian, menginspirasi begitu banyak film dan tayangan dokumenter. Dalam beberapa bulan terakhir saja setidaknya ada tiga film baru yang terinspirasi dari kisah pembunuhan yang dilakukan Manson yakni “The Haunting of Sharon Tate”, “Charlie Says”, dan “Once Upon a Time in Hollywood”.

Karya yang terakhir disebut disutradari oleh Quentin Tarantino. Legenda hitam pria pemimpin sekte Manson family yang terobsesi mengobarkan perang ras di AS itu nyaris tak pernah surut selama lebih dari tiga dekade. Kisah tentang kejahatan Manson pertama kali tayang di layar kaca pada 1976 dengan judul “Helter Skelter” yang mengisahkan serba serbi pembunuhan Tate hingga proses peradilan.

Pada 1980an, produser film Alan Sacks berencana membuat film biopik Manson berjudul “Manson!”. Tapi film ini gagal diproduksi. Pasalnya, tidak ada aktor yang bersedia memerankan Manson karena menganggap peran tersebut bisa menghancurkan karier mereka. Jeffrey Melnick, penulis “Creepy Crawling: Charles Manson” (2018), berpendapat bahwa kisah Manson sangat menarik perhatian karena kejahatan yang ia lakukan terjadi di kawasan elit Los Angeles, tempat tinggal para pelaku industri film Hollywood.

Kisah yang tak kalah besar adalah pembunuhan berantai terhadap 30 perempuan muda yang dilakukan Ted Bundy sejak 1974 hingga 1978. Pada 24 Juli lalu, Netflix merilis “Extremely Wicked, Shockingly Evil, and Vile”, sebuah film yang berangkat dari kisah Bundy. Zac Efron, aktor utamanya, dipuji-puji para kritikus berkat permainannya sebagai Bundy.

Sebelum film Ted Bundy, Netflix pernah merilis serial yang sangat sukses di pasaran bertajuk “Making a Murderer” (2015) tentang Steven Avery, seorang yang dihukum penjara 18 tahun karena memperkosa dan membunuh seorang perempuan. Namun, Beberapa tahun kemudian, Avery terbukti tak bersalah.

Selain sukses di pasaran, “Making a Murderer” rupanya mampu menggerakkan massa. Quartz melaporkan bahwa tak lama setelah serial dirilis, 160.000 orang menandatangani petisi agar Avery dibebaskan. “Tayangan yang terinspirasi dari kisah kejahatan nyata bisa berperan sebagai medium untuk mempertanyakan sistem keadilan dan penegakan hukum,” tulis Quartz.

Beberapa penjahat kelas kakap seperti Guy Fawkes memang dirayakan karena dinilai subversif. Fawkes berencana meledakkan gedung Parlemen Inggris, membunuh Raja James I, dan menaikkan seorang pemimpin beragama Katolik. Konspirasi yang berlatarbelakang sentimen anti-Protestan itu gagal. Fawkes dihukum mati.

Bertahun-tahun kemudian, banyak kelompok dalam masyarakat Inggris dan Amerika mulai merayakan Malam Guy Fawkes sebagai simbol perlawanan terhadap monarki Inggris. Pada 1982, Alan Moore dan David Lloyd merilis komik berjudul V for Vendetta yang menampilkan sosok anarkis bertopeng Guy Fawkes yang melawan kediktatoran fasis Inggris di masa depan.

Komik itu diangkat ke layar lebar pada 2005. Enam tahun kemudian, topeng Guy Fawkes muncul di tengah-tengah massa demo anti-Mubarak di Mesir dan para aktivis Occupy Wallstreet di AS. Sejak itulah Guy Fawkes, yang aslinya adalah seorang Katolik fundamentalis, dikenang sebagai “penjahat progresif”. (*)

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button