Ulama’ Produktif; “sampaikanlah kebenaran walau tak berbayar!”

Ulama’ Produktif; “sampaikanlah kebenaran walau tak berbayar!”

Oleh: Ickur

Komunitas Disorientasi

Belum kelar aku membaca buku kedua Kiyai Imad yang mempreteli nasab Ba Alawi karena aku hanya terpaku, tepatnya takjub menatap “tulisan sampah”ku yang dijejer di antara para cendikiawan kaliber dalam buku kedua tersebut, terbit lagi buku ketiga Kiyai Imad yang ditulis dalam bahasa Arab berjudul “المواهب اللدنية”. Sengaja aku tulis judul buku ketiga Kiyai Imad ini dalam huruf hijaiyyah supaya aku terkesan alim, padahal ngasih harakat pun aku gak bisa. Hahaha.

Sebenarnya aku punya ekspektasi di tengah debat kesahihan nasab Ba Alawi ini, ekspektasi akan buku berbalas buku, gagasan berbalas gagasan untuk menambah pundi-pundi pengetahuan tentang pernasaban, tapi terpaksa harus menahan kecewa karena jaawaban-jawaban pihak tergugat “gak nyambung” dengan tuntutan penggugat. Yang tersaji kemudian adalah karya intelektual dibalas dengan amarah, tuduhan dengan stigma buruk, bahkan yang lebih parah adalah menghalangi khalayak dalam hal ini muhibbin Ba Alawi untuk mengakses pengetahuan pembanding. Mungkin karena dikhawatirkan mereka terpengaruh dan balik menyerang atau menggugat kesahihan nasab Ba Alawi yang mengklaim tersambung sampai ke Rasulullah Muhammad Shalla Allahu ‘alaihi wa sallam.

Kiyai Imad adalah pelopor yang berani mendobrak “selaput mistik” yang menyelubungi nasab Ba Alawi dengan menguak identitas figur utama tokoh yang diklaim menjadi penyambung nasab Ba Alawi kepada Rasulullah. Meskipun Kiyai Imad bukan yang pertama, karena Sayyid Audah Al Aqili puluhan tahun sebelumnya telah mengumumkam pembatalan dan ketidak benaran nasab Ba Alawi bersambung ke Rasulullah, tapi karya Kiyai Imad lah yang mendapat respon khayalak dan membuat kontroversi karena ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami dan dijelaskan oleh para pendukung Kiyai Imad dengan penjelasan yang mudah dicerna kepada khalayak umum. Selain itu, karya Kiyai Imad tidak dikomersialisasi tapi dapat diakses dengan mudah “tanpa dipungut biaya”, yang penting punya kuota internet maka buku Kiyai Imad dalam bentuk pdf sudah bisa didownload.

Kemudahan mengakses buku-buku Kiyai Imad ini, adalah poin yang menambah skor bagi kemenangan Kiyai Imad itu sendiri. Bukan bermaksud mengalihkan pembicaraan dari ajang kontestasi gagasan kepada karakter orang per orang. Hanya sedikit poin tambahan untuk Kiyai Imad, Karena telah maklum bahwa di tengah masyarakat terdapat praktek pemerasan berbentuk “hadiah yang diminta” dengan setengah memaksa kepada muhibbin Ba Alawi, nah yang ini jangan digeneralisir bahwa Ba Alawi yang mengaku dzurriyah Rasulullah seluruhnya minta atau makan sedekah, ini khusus dilakukan orang per orang. Aku sendiri melihat praktek seperti ini merupakan rekayasa sedekah terselubung. Karena Dzurriyah Rasulullah diharamkan memakan sedekah, maka akadnya dirubah menjadi hadiah (tapi kadang diminta dengan paksa), kalau menggunakan istilah yang familiar di Komunitas Disorientasi; “gak ada prestasi kok minta hadiah?!”. Sementara itu, Kiyai Imad muncul dengan ilmu yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan dan dirangkum sampai saat ini menjadi tiga buku yang terbit secara beruntun, seolah ingin mengatakan kepada semua orang; “sampaikanlah kebenaran walau tak berbayar”.

Karya Kiyai Imad adalah kebenaran referensial, bisa didebat bahkan bisa terbantahkan jika terdapat referensi yang lebih kuat dan valid. Akan sangat menarik jika pihak Ba Alawi mengajukan karya pembanding dengan referensi-referensi yang teratur, tersusun rapi dan bisa diuji validasinya, kemudian dipublikasi kepada khalayak tanpa komersialisasi. Kalau seperti ini, skor tentu bisa berimbang. Kalau tetap menggunakan amarah atau mistifikasi, dampaknya bisa sangat mengerikan. Bisa menyulut benturan fisik, dan akan menjadi bahan tertawaan komunitas ilmiah. Kenapa jadi bahan tertawaan?, Ya karena kebenaran referensial berusaha dibantah dengan mitos. Mitos yamg kumaksud di sini adalah mitos dalam pengertian cerita yang dibuat untuk membenarkan suatu ideologi. Tentu tidak bisa diuji kebenarannya.

Mistifikasi seperti Ini banyak kita jumpai beredar di tengah-tengah masyarakat, bahkan beredar di dunia maya. Misalnya si Fulan al Fulan diceritakan bermimpi ketemu Rasulullah dan mengatakan sesuatu tentang si Fulan Al Fulan. Atau si Fulan bin Fulan Al Fulan berkali-kali mi’raj ketemu Allah SWT. Coba katakan, bagaimana cara mengkonfirmasi kebenaran untuk hal seperti ini?.

Kalau Ba Alawi melalui lembaga pencatat nasabnya selama ini berpegang pada data catatan pohon nasab yang dituliskan turun temurun tanpa putus, maka sebaiknya catatan dan dalil-dalil yang menjadi pegangan selama ini dipublikasi, supaya bisa dibaca dan dinilai sendiri oleh masyarakat. Tujuannya kan untuk menguji kebenaran bahwa Ba Alawi adalah keturunan Rasulullah, bukan untuk menyerang orang tertentu yang berada dalam lingkar keluarga Ba Alawi. Yang terlihat justru orang-orang tertentu dalam dalam lingkar Ba Alawi yang menanggapi gagasan Kiyai Imad ini secara emosional, ada juga yang mencoba menanggapi secara ilmiah, bahkan yang menarik adalah ada juga yang menanggapi secara santai seolah terputus atau tidaknya nasab Ba Alawi tidak ada pengaruhnya kepada mereka dalam hidup ini meskipun mereka yang santai ini juga dari kalangan Ba Alawi.

Meskipun batal tidaknya nasab Bani Alawi juga tidak ada pengaruhnya dalam hidupku, tapi aku tetap berharap akan ada sanggahan referensial dari pihak Bani Alawi supaya dapat memperkaya pengetahuan tentang ilmu pernasaban. Sebagai pembanding, Terlepas dari keberpihakan leluhur Bani Alawi di masa kolonial Belanda, mereka masih punya intelektual yang menuliskan karyanya dalam bentuk buku dan sampai sekarang tersimpan secara rapi menjadi dokumen sejarah. Dokumen sejarah inilah yang merekam posisi, kelas sosial, serta keberpihakan Ba Alawi pada masa kolonial Belanda dan gugatan Kiyai Imad ini juga turut merembet pada terbongkarnya sejarah yang terabaikan atau bahkan ditutupi itu. Sehingga orang-orang yang sebelumnya berkoar-koar atau menghujat ulama yang dituding pro penguasa kehabisan argumen karena Mufti Betawi dari kalangan Ba Alawi terkonfirmasi sebagai “ulama” istana, dan do’anya untuk kemaslahatan penguasa tetinggi kolonial Belanda yang nyata-nyata adalah non muslim juga terkonfirmasi sahih karena tersimpan dalam bentuk naskah. Jejak sejarah tidak bisa berbohong, kita lah yang berbohong jika memberikan cerita yang terbalik dari apa yang telah terjadi di masa lalu.

Kalau dalam tulisan sebelumnya telah kuurai tiga tabrakan beruntun yang memperlihatkan kemungkinan besar batalnya nasab Ba Alawi tersambung ke Rasulullah di mana karya Kiyai Imad adalah salah satu dari yang menabrak kemapanan klaim Ba Alawi itu, maka kali ini tiga tabrakan beruntun itu di lakukan oleh Kiyai Imad sendiri dengan terbitnya tiga karyanya dalam bentuk buku pdf secara berturit turut. Selain efek tiga karya beruntun Kiyai yang telah disebutkan sebelumnya, di mana Sunni-Syiah dari kalangan Ba Alawi bergandeng tangan untuk berusah menggugurkan gugatan Kiyai Imad, ternyata selain dikotomi Sunni-Syiah yang terdapat dalam internal Ba Alawi, saling membatalkan nasab pun terjadi di dalam internal mereka. Aku ingat ketika panasnya pilpres 2019 di mana habib Luthfi kata seorang penjual jamu yang juga dari kalangan Ba Alawi mengatakan bahwa “nasabnya batal dan di Surabaya dia dipanggil Luthfi saja (tanpa gelar habib)”. Ada juga seorang dari kalangan Ba Alawi mengatakan bahwa nasab Quraisy Shihab batal karena tidak bisa memberi pendidikan agama yang baik kepada anaknya (Najwa Shihab), karena tidak berhijab.

Dengan munculnya gugatan Kiyai Imad ini, nasab kedua tokoh yang telah disebut di atas kembali disahihkan dan digunakan sebagai argumen untuk membantah Kiyai Imad. Padahal (lagi dan lagi) aku tegaskan bahwa tiga karya beruntun Kiyai Imad ini tidak tebang pilih, tapi tidak general juga. Maksudnya tidak membatalkan seluruh Dzurriyah Rasulullah tapi khusus Ba Alawi. Atau kubuatkan saja klasifikasi seperti ini, dalam Islam itu sendiri ada perbedaan pendapat mengenai ada tidaknya dzurriyah Rasulullah, memang ada yang berpendapat bahwa keturunan Rasulullah tidak ada lagi. Ini pendapat dari ketua MUI saat itu KH. Hasan Basri, ini pernyataan yang berlaku secara keseluruhan. Kemudian pendapat Sumanto Al Qurthubi yang mengatakan bahwa dari segi ilmu anthroplogi nasab Rasulullah terputus, perhatikan ya; “dari segi ilmu antrhtopologi”. Sedangkan Kiyai Imad bukan membahas tentang terputusnya nasab Rasulullah, tapi khusus membahas terputusnya nasab Ba Alawi yang mengklaim sampai kepada Rasulullah.

Jadi alangkah baiknya kalau perdebatan atau diskusi mengenai tiga karya beruntun Kiyai Imad ini direduksi ke dalam perdebatan atau diskusi ilmiah, jangan dibentangkan ke mana-mana, tujuannya adalah untuk melatih Umat atau khalayak umum berpikir kritis dan belajar menimbang mana informasi dan data yang akurat, hal ini tentu akan sangat membantu dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan lagi ada upaya pembodohan dengan menutupi fakta, ini berlaku untuk pihak mana pun yang ikut ambil bagian dalam perdebatan ini. Biarlah khalayak yang menimbang dan menilai sendiri mana yang benar mana yang keliru dan memilih mana yang harus jadi pegangan. Apa pun pilihannya semua pihak harusnya dapat saling menghargai pilihan masing-masing, tidak usah lagi ada redactio ad absurdum; Kalau menyakiti si fulan maka akan menyakiti si fulan bin fulan, kalau si fulan bin fulan sakit hati maka kelak tidak akan mendapat syafaat dari Rasulullah, kalau tidak mendapat syafaat Rasulullah maka Allah akan murka.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa bahwa karya-karya Kiyai Imad adalah kebenaran referensial karena berdasar kepada referensi-referensi yang diperas dari kitab-kitab klasik warisan intelektual Islam yang menjadikan Kiyai Imad sebagai salah seorang ulama’ yang produktif dalam menghasilkan karya tulis. Tentu Kiyai Imad bukanlah pemilik kebenaran mutlak, sebagaimana Ba Alawi juga bukan pemilik kebenaran mutlak, tapi seyogyanya sebuah karya yang terlahir dari ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran mendapat apresiasi positif, karena karya seperti ini akan menjadi khasanah kekayaan intelektual Islam di masa yang akan datang. Intaha.*

Ahad, 29 Dzulqa’dah 1444 / 18 Juni 2023

Lembah Seribu Bunga

Pesantren Miftahul Ulum Manggar

Bagian Timur Kota Balikpapan

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button