Time Is Happy; Jadi, Apa Definisi Hidup Bahagia Menurut Kalian?

Time Is Happy; Jadi, Apa Definisi Hidup Bahagia Menurut Kalian?
Oleh: Ickur
(Komunitas Disorientasi)
Saat aku fokus mengutak-atik smartphone di sebuah warkop yang menjual aneka gorengan, tiba-tiba datang tiga orang perempuan yang di duduk di depanku. Maksudnya posisi mereka berada satu meja denganku secara berhadapan. Mejanya berbentuk persegi panjang, di kiri kanan meja berjejer beberapa kursi plastik, nah, kalau aku duduk di sebelah kiri meja, mereka duduk di sebelah kanan. Begitulah kira-kira setting suasananya.
Mereka (ketiga perempuan itu) memesan minuman dingin es kelapa. Meskipun masih terhitung pagi tapi cuaca mulai memanas sehingga godaan untuk melepas dahaga dengan minuman dingin sangat kuat. Tapi aku tidak terbiasa dengan minuman dingin, rentan radang tenggorokan, bahkan dalam kondisi cuaca yang panas menyengat pun aku terbiasa minum air putih hangat.
Waktu singgah di warung ini, aku memesan Kopi dan mengambil dua buah pisang goreng berbalut terigu kriuk. Kopi dalam gelas bertelinga satu telah habis kuminum menyisakan ampas hitam bercampur coklat, dua buah pisang goreng yang tersaji di lepek plastik kecil juga sudah habis ketika tiga “cewek tua” itu masuk ke warkop. Semula aku mau beranjak dari tempat tersebut, tapi aku tertahan oleh obrolan tiga perempuan di depanku ini.
Padahal aku tidak mengajak mereka berkomunikasi, sekedar mencuri dengar obrolan mereka. Obrolan tentang keluarga masing-masing. Tentang kerjaan suami, tentang selera makan ketiga ibu-ibu ini dan lain-lain. Kalau melihat dari perawakan mereka, usanya tidak terpaut jauh dariku, di rentang empat puluh sampai empat puluh lima tahun kalau dikira-kira. Tapi yang tampak lebih muda di antara ketiganya justru sudah memiliki cucu. Betul-betul ibu-ibu sosialita, dandanan dan cara berpakaiaan mengelabui usia yang sebenarnya.
Sementara itu, pemilik warkop dan karyawannya tak bergeming, mereka tetap asyik dengan pekerjaan yang mereka tekuni, bergelut dengan adonan dan wajan untuk tetap memastikan produksi komoditas mereka berupa gorengan tidak kalah cepat dengan permintaan konsumen.. kebanyakan dari konsumen “take awa”, hanya beberapa orang saja yang singgah “ngopi”, itu pun tidak bertahan lama karena mereka harus berburu waktu mencapai tempat kerjaan, begitulah buruh. Buruh yang kumaksud di sini adalah buruh yang berada di luar akses modal industri besar, seperti buruh bangunan yang tidak punya akses pada industri kapitalisme yang disuplai modal raksasa. Mungkin lebih tepat disebut subaltern dalam istilah Antonio Gramsci yang kemudian dikembangkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak.
Aku saja penganggur terselubung yang kerjanya cuma bongkar pasang kata, memutar balik, dan meramu kata-kata kemudian membuat seolah-olah kejadian yang diceritakan sangat seru. Sebagai “penganggur terselubung” meminjam istilah almarhum KH. Hasyim Wahid dalam puisinya yang berjudul Pembicaraan Rahasia, silahkan baca Kumpulan Puisi Bunglon!, waktu tidak mengikatku secara ketat, tapi tentatif, alias fleksibel. Kalau ada panggilan nongkrong langsung kujadikan prioritas utama. Padahal nongkrong di warkop bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Benjamin Franklin bahwa “waktu adalah uang”, tapi aku tak mampu menerjemahkan istilah ini ke dalam keadaan nyata, aku tidak tahu cara menukar tiap deret waktu dengan kepingan rupiah. Waktu yang mengukur tiap gerak hidupku hanya tertukar dengan “perasaan senang”. Kadang tertukar dengan ‘keadaan tenang”, dalam kurung “bersenang-senang, seperti slogan anonim “jangan lupa bahagia””. Jadi kalau Benjamin Franklin pada tahun 1748 menulis sebuah esai yang berjudul “Advice to a Young Tradesman” bahwa “Waktu adalah uang”, Maka ada baiknya aku menulis nasihat untuk kaum penganggur terselubung; “time is happy”.
Tulisan ini jangan dianggap serius layaknya doktrin, apalagi ideologi yang harus dipertahankan mati-matian. Jadikan saja sebagai bahan pembanding, karena orang yang masih sempat membaca tulisan ini, atau yang masih sempat membaca tulisan apa pun secara serius, agaknya sedang rehat dari usaha menukar waktu dengan uang. Atau pada level yang lebih tinggi telah sampai pada kesimpulan bahwa “biarkan uang mengembangbiakkan diri sendiri” kita tinggal mengisi waktu dengan menambah skill dan pengetahuan tentang bagaimana melipat gandakan uang dengan cara yang secepat-cepatnya.
Bagi kalian yang telah mendapat celah atau telah mengetahui cara untuk menerjemahkan “time is money”, menukar tiap deretan waktu dengan uang sebanyak-banyaknya dalam kehidupan nyata, bukan sekedar motivasi tanpa aksi, silahkan dipraktekkan dan akumulai pendapatan. Katanya (kata siapa?), Pada era disrupsi di segala bidang ini, bahkan dalam keadaan tidur-tiduran pun “modal” bisa melipatgandakan dirinya sendiri. Kalau tidak percaya, silahkan simak ocehan banyak konten kreator di youtube yang membahas soal ini, tentang bagaimana cara melipatgandakan uang bahkan tanpa “ngapa-ngapain”. Silahkan, coba praktekkan, apa memang bisa(?).
Selama ini aku juga sudah berusaha mencari tepatnya mencoba cara untuk menerapkan prinsip waktu adalah uang, tapi jika waktu yang kulalui diukur dengan berapa banyak perolehan uang dalam sehari, tentu berada pada tataran memprihatinkan dalam cara pandang para pemilik mesin uang. Dalam sehari aku hanya bisa menghasilkan rata-rata lima puluh ribu rupiah, jika dikali tiga puluh hari dalam ukuran sebulan maka hanya menghasilkan satu juta lima ratus ribu rupiah.
Pendapatan satu juta lima ratus ribu rupiah dalam sebulan yang rata-rata lima puluh ribu per harinya, jika diurai dengan pengeluaran harian akan menghasilkan hitungan; jika biaya sekali makan adalah lima ribu rupiah per orang (asumsi biaya masak sendiri), maka lima ribu rupiah dikali lima orang (aku, istri dan tiga orang anak) sama dengan dua puluh lima ribu rupiah, dikali dua (dua kali makan dalam sehari) sama dengan lima puluh ribu rupiah. Secara matematis pendapatan lima puluh ribu rupiah per hari sebenarnya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan harian karena masih harus ditambah dengan pengeluaran uang jajan anak dan uang bensin untuk transportasi.
Makanya, ada kalanya aku berandai-andai memiliki mesin duit yang terus memproduksi lembaran-lembaran rupiah yang akan kugunakan untuk memenuhi segala kebutuhan sebagai sarana memperoleh kebahagiaan hidup. Andaikan aku pengembang Game online atau konten kreator yang bisa mengalirkan duit ke dalam rekening bank karena dibayar oleh adsense, Tapi seberapa banyak pun uang yang mengalir ke dalam rekening bank dan seberapa mampu pun kita membeli apa saja yang kita inginkan, tujuan akhirnya tetap adalah kebahagiaan hidup.
Faktanya, aku sampai sekarang belum mampu menciptakan mesin duit seperti itu. Karena itu aku menggunakan jalan lain untuk mendapatkan kebahagiaan hidup, dengan cara selain “time is money” yaitu menata ulang cara pandang, membuat definisi bahagia yang lebih realistis yang sangat mungkin bisa dicapai oleh semua orang, bukan hanya oleh orang-orang yang mempunyai mesin duit seperti yang telah kuceritakan di atas.
Setelah menata ulang paradigma dan mendefinisikan ulang apa itu hidup bahagia(?) bukan berarti aku berhenti mencari nafkah atau tidak butuh duit, karena “banyak orang” atau supaya tidak menjatuhkan vonis kepada orang lain aku merubah diksi dari kata “banyak orang” kureduksi menjadi “ada orang” yang ketika gagal menciptakan mesin duit, merasa dunia telah berakhir, ada juga yang membuat teori konspirasi kemudian menuduh orang-orang yang memiliki akses untuk mengakumulasi duit sebanyak-banyaknya adalah orang-orang yang mendapatkan harta secara tidak wajar atau menyimpang, dalam bahasa pengguna kesadaran magis, meminjam istilah Paulo Freire (seorang pendidik terkenal asal Brasil), mereka menggunakan ilmu pesugihan atau mempekerjakan tuyul. Dalam bahasa birokrat disbut korupsi, sedangkan dalam bahasa teknologi informasi disebut Hacker.
Bagiku, mendefinisikan ulang “hidup bahagia” sangat penting agar terhindar dari angan-angan tanpa dasar realitas. Sehingga bisa menghindari kemungkinan untuk melakukan penyimpangan dalam mewujudkan tujuan, tegasnya supaya tidak menghalalkan segala cara. Mendefinisikan ulang “hidup bahagia” berarti tidak menempatkan satu nalar tunggal sebagai tolak ukur, artinya uang bukan satu-satunya sarana untuk meraih kebahagiaan hidup, tapi hanya salah satu instrumen. Aku ulangi sekali lagi, meskipun uang bisa menjadi instrumen utama, tetapi uang bukan satu-satunya sarana untuk meraih kebahagiaan dalam hidup. Di sinilah aku melihat pentingnya mendefinisikan hidup bahagia. Jadi, apa definisi hidup bahagia menurut kalian?.
1 Juli 2023
Lembah Seribu Bunga
Pesantren Miftahul Ulum
Manggar – Balikpapan