Finalisasi Raperda Pesisir Ditolak Aktivis
TIMUR MEDIA – Sejumlah Aktivis Lingkungan Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (Amuk) Bahari, menolak Raperda Pesisir.
Amuk Bahari, menyampaikan penolakannya terhadap finalisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di Kaltim.
Aliansi ini berasal dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), KIARA, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Sebagai aksi penolakan, mereka membentangkan spanduk saat rapat finalisasi Raperda. Rapat itu dihelat di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rabu, 27/Nov/2019.
Para Aktivis Amuk Bahari memandang perumusan Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur wajib ditolak. Sebab, manfaatnya tidak didasarkan untuk kepentingan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
“Ranperda ini disusun melayani kepentingan investasi pertambangan migas dan batubara, reklamasi untuk properti dan terminal khusus eksploitasi industri kayu dan perkebunan skala luas,” demikian Seni Sebastian, juru bicara Amuk Bahari menerangkan melalui rilis.
Amuk Bahari mencatat, dokumen rancangan Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur disusun untuk mengakomodasi kepentingan investasi. Di dalam dokumen tersebut ada sejumlah proyek sebagai berikut:
Pertama, reklamasi seluas 752,180 ha. Proyek reklamasi berada di dalam zona jasa/perdagangan untuk pembangunan coastal road di pesisir Balikpapan dengan luas sekitar 528,91 hektare. Lalu reklamasi Kilang Minyak Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, seluas 41,72 hektare dan 181,55 hektare.
Kedua, proyek pertambangan di wilayah pesisir dan Pulau-Pulau kecil meliputi pertambangan minyak dan gas bumi seluas 46.758,21 hektare.
Ketiga, zona pelabuhan yang berkaitan dengan keberadaan Terminal Khusus (Tersus) dan aktivitas pelayanan untuk kegiatan industri pertambangan migas dan batubara serta industri perkebunan. Terminal khusus yang tersebar di sepanjang pesisir ini juga menyasar Kawasan cagar alam Teluk Apar dengan luas sekitar 3.372,67 hektare dan Teluk Adang di Kabupaten Paser dengan luas sekitar 19.864,01 hektare. Pun, wilayah ekosistem penting Teluk Balikpapan dengan luas sekitar 46.153,91 hektare.
Keempat, Kawasan bentang alam Karst Pesisir Kaltim juga tak luput dari ancaman Industri Tambang. Ekosistem Karst yang menjadi sumber bagi pasokan Air Tawar masyarakat peisir di kawasan Utara Provinsi Kaltim ke depannya akan mendapatkan gangguan besar dengan telah terkaplingnya 65.460 hektare Izin Tambang di atas Kawasan Karst pesisir Kaltim.
Kawasan ekosistem karst yang harusnya mendapatkan perlindungan adalah Kawasan Ekosistem Karst yang membentang dari Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Berau dan Kutai Timur yang memiliki garis pantai dengan panjang 1,125 km. Di sana, terdapat Bentang ekosistem kawasan karst di Kawasan Sangkulirang Mangkalihat dengan 1,9 juta hektare dari total 3,3 juta hektare berada di kawasan pesisir (P3EK, 2016);
Kelima, ancaman ini tidak hanya di daratan pesisir, pun terjadi di perairan sepanjang utara Kaltim hingga menyusuri wilayah selatan. Dari 3,7 juta hektare luas perairan Kaltim (12 Mil Laut), sebanyak 1,3 juta hektare telah dikapling penambangan minyak dan gas. Ironisnya dari luasan tersebut sabanyak 719 Ribu hektare menyerobot wilayah tangkapan nelayan tradisional Kaltim.
Keenam, Rancangan Perda RZWP3K Kalimantan Timur banyak mengakomodasi rencangan pembangunan terminal khusus untuk kepentingan industri, perdagangan energi, pertambangan, pertanian, perikanan terdapat di perairan. Di dalam lampiran Perda, terminal khusus tercatat sebanyak 121 lokasi. Namun dalam batang tubuh Perda, jumlah terminal khusus tidak banyak. Dengan demikian, ada pertentangan substansi di dalam Ranperda ini.
Seny Sebastian, juga mempertanyakan dengan sangat serius Ranperda ini.
“Apakah RZWP3K ini menjawab dan mengoreksi persoalan Kaltim atau tidak? Jika tidak, maka sebaiknya pembahasan ini mesti dibatalkan dan ditolak,” katanya.
Pada saat yang sama, kawasan permukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 25,22 hektare saja. Padahal jumlah nelayan di Kalimantan Timur tercatat sebanyak 137.553 keluarga, terdiri dari 47.477 keluarga nelayan tangkap dan 90.076 keluarga nelayan budidaya.
Tak hanya itu, meski luasan kawasan perikanan tangkap dialokasikan seluas 2.605.046,40 hektare, namun keberadaan kawasan tangkap tersebut berada jauh dari jangkauan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil. Dengan demikian, nelayan akan kesulitan karena harus bersaing dengan kapal-kapal besar pengangkut baru bara.
“Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang akan dilanggengkan oleh Perda Zonasi Kalimantan Timur,” tegas Susan Herawati, Sekretaris jenderal KIARA, sekaligus anggota juru bicara Amuk Bahari.
Selain itu, Rancangan Perda Zonasi Kalimantan juga tidak membahas kawasan darat atau kecamatan pesisir sebagaimana dimandatkan oleh Peraturan Menteri KP Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Dampaknya, keberadaan ekosistem mangrove primer sebagaimana terdapat di kawasan Teluk Balikpapan akan terancam hilang karena ekspansi industri serta pengembangan untuk kawasan Ibu Kota baru,” kata Susan.
Dalam konteks pengelolaan hutan mangrove, demikian Susan, KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai area konservasi berbasis masyarakat yang berwawasan berkelanjutan,” tambah Susan.
Kerusakan akibat operasi industri keruk dan industri lapar-lahan lainnya terus membesar, didaratan hingga sabuk pesisir. Perusakan secara legal oleh pengurus publik ini kembali dihadirkan melalui instrumen RZWP3K Kalimantan Timur.
“AMUK Bahari menilai jelas mengabdi dan melayani kepentingan Investasi Pertambangan Migas, Mineral dan Batubara bahkan reklamasi untuk bisnis properti bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat rakyat serta eksositem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” pungkas Seny Sebastian.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kaltim Riza Indra Riadi, belum memberikan pernyataan resmi untuk menanggapi adanya aksi penolakan dari para aktivis lingkungan itu. Riza hadir dalam pembahasan tadi siang.