Ramadhan; Bulan Penuh Kuliner?

Ramadhan; Bulan Penuh Kuliner?
Oleh: Ickur
(Komunitas Disorientasi)

Pagi ini gerimis kembali mengguyur bumi. Sebenarmya sejak subuh tadi, rintik-rintik kecilnya mengiringi langkahku menuju Masjid bersama anakku yang sulung. Tapi di awal pagi ini, dari jendela kamar kusaksikan air yang turun dari langit mulai sedikit menebal, nada syahdunya mengalun dengan dinamika bak metronom ketika bersentuhan dengan atap rumah yang terbuat dari seng.

Ada yang bilang hujan adalah berkah, tapi ada juga yang mengatakan hujan adalah laknat. Maknanya jadi ambigu alias bermakna ganda. Jika hujan turun ketika bumi dicekik kemarau, tentu hujan adalah berkah bagi manusia yang mendamba air, tetapi jika hujan turun tiada henti?, Banjir akan melanda dan pembahasan akan merembet ke mana-mana. Mulai dari tata kota yang amburadul, sistem drainase yang tidak beres, bahkan bisa berujung pada vonis terhadap pemimpin yang tidak mendapat berkah dari langit, pemimpin terkuruk, ujud, takabbur, dan lain-lain; katannya.

Dan hari ini adalah satu Ramadhan, bulan penuh kuliner?, Eh salah, bulan penuh berkah!. Di mana kaum muslimin berlomba-lomba melakukan perbuatan baik; dengan khusuk meningkatkan kuantitas ibadah untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik dari bulan-bulan di luar Ramadhan.

Pada saat bersamaan di beberapa tempat tiba-tiba menjadi pusat kuliner musiman, pedagang UKM menangkap peluang ini untuk mengumpulkan recehan dengan memfasilitasi imajinasi orang-orang yang sedang berpuasa akan makanan yang enak untuk disantap saat berbuka puasa.

Jika sebelumnya ibu-ibu rumah tangga mengeluhkan harga sembako yang katanya mahal jelang Ramadhan, tapi toh mereka tetap menjadi bagian dari antrian di pusat kuliner menjelang buka puasa. Sajian berbuka harus harus enak demi menghormati bulan Ramadhan, sampai lupa hal esensial dari menu buka puasa harusnya diukur dangan pendekatan Halalan Thayyibah; halal dan sehat, kalau tidak seperti ini, tentu bisa mendatangkan penyakit yang membahayakan tubuh.

Tadi malam, usai melaksanakan taraweh, beberapa jamaah melingkar kemudian secara bergiliran mendaras Al Qur’an dengan mengaktifkan pengeras suara yang mengaung nyaring jauh keluar area masjid. Ini adalah hal yang bagus, karena malam-malam sebelumnya nyaris tidak pernah terdengar orang membaca Al Qur’an secara live dari masjid, paling menggunakan rekaman audio meskipun sama-sama nyaring. Tapi dibalik euforia Ramadhan dengan berlomba-lomba melipatgandakan amal, ada juga keluhan dari masyarakat yang rumahnya berjarak dekat dari masjid karena terganggu kebisingan, tentu keluhan ini mereka sampaikan secara bisik-bisik, takut jadi masalah kalau dikomplain langsung ke pengurus masjid. Takut dibilangi “setan”, karena hanya setan dan turunan iblis lainnya lah yang tidak suka mendengar ketika Al Qur’an dibacakan. Padahal mereka yang merasa terganggu oleh kebisingan adalah orang-orang yang justru setiap harinya mengisi waktu senggang mereka menekuri Al Qur’an melalui bacaan dengan nada bersahaja. Belum lagi jika di sekitar masjid ada orang yang sedang sakit atau orang yang baru pulang setelah seharian bekerja keras di luar rumah, tentu mereka butuh istirahat, termasuk istirahat dari kebisingan. Supaya tidak terjadi salah paham, mereka tidak terganggu oleh bacaan Al Qur’an tetapi yang mereka keluhkan adalah masalah kebisingan.

Gerimis masih mengguyur pelan, di langit beberapa cercah cahaya berusaha menerobos gumpalan awan hitam. Bagi orang yang sedang berpuasa, cuaca seperti ini biasanya membuat tenggorokan nyaman, haus kurang terasa, tapi perut cepat merasa lapar. Agaknya aku harus melanjutkan tidur, selain untuk memangkas waktu menuju saat berbuka, juga ada yang mengatakan bahwa “tidurnya orang berilmu lebih baik daripada shalatnya orang bodoh”. Sayangnya, aku bukan orang berilmu.

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button