Praktisi Hukum Soroti Kasus Dugaan Pelanggaran Upah di RS Haji Darjad, Terancam Denda dan Pidana
TIMURMEDIA – Kasus pengupahan yang terjadi di RS Haji Darjad dianggap melanggar aturan. Ancamannya tak sekadar kewajiban membayar denda, tetapi juga masuk ranah pidana. Hal ini sesuai dalam UU Cipta Kerja Pasal 81 Ayat (63).
“Perusahaan yang membayar upah dibawah UMR, bisa dikenai sanksi pidana minimal 1 tahun kurUngan penjara, dan maksimal 4 tahun kurungan penjara. Ancaman lainnya adalah denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta,” jelas I Made Sutarmika, S. H., M. H., praktisi hukum dari LBH Harapan Masyarakat Kaltim, Jumat 4 Agustus 2023, kemarin.
Katanya, dalam UU Cipta Kerja Pasal 81 Angka 25, perusahaan bahkan dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. “Besaran UMP ini berbeda-beda di setap provinsi. Dimana besaran UMP diputuskan oleh pemprov masing-masing daerah berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan,” katanya.
“Ketentuan UMP ini dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil. Sebagai gantinya, kalau untuk usaha mokro dan kecil, upah disepakati bersama antara pengusaha dan karyawan,” timpalnya.
Bagi I Made Sutarmika, munculnya kebijakan mutasi karyawan akibat penolakan karyawan terhadap aturan yang dilaksanakan merupakan wewenang penuh sebuah perusahaan. “Itu tidak ada masalah,” ujarnya.
Kendati begitu, jika dalam prosesnya ada intimidasi, karyawan sebenarnya bisa mengadukan hal tersebut ke Disnaker. “Apalagi kalau disertai bukti,” paparnya.
Sementara itu, praktisi hukum lainnya dari LBH Harapan Masyarakat Kaltim, Feby Hermawan, S. H., menilai kebijakan dugaan menahan ijazah yang dilakukan manajemen RS Haji Darjad sejatinya bisa dilihat dari dua sisi.
Pertama, kebijakan ini sebenarnya tidak melanggar hukum selama disepakati oleh kedua belah pihak, yakni pemberi kerja dan pekerja, serta diatur dalam perjanjian kerja. “Pendapat ini didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sesuai Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Maka secara hukum para pihak wajib memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati,” urainya.
Feby Hermawan, S. H. menegaskan, penahanan ijazah baru menjadi masalah hukum apabila karyawan telah mengakhiri kontrak namun tidak dikembalikan. “Sanksi perusahaan yang menahan ijazah seperti itu adalah sanksi pidana,” paparnya.
Bagi Feby Hermawan, S. H., dalam kondisi itu, perusahaan dapat dilaporkan ke polisi dengan dugaan penggelapan yang menurut KUHP adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya.
Lebih lanjut dia menerangkan, dalam kasus penahanan ijazah, yang penguasannya berdasarkan perjanjian kerja, maka menurut Pasal 374 KUHP, pengusaha dapat diancam pidana kurungan maksimal 5 tahun.
“Menurut saya, penahanan ijazah untuk membuat karyawan tunduk pada kontrak kerja bukan solusi. Sebab tanpa menahan ijazah, kontrak tersebut sudah berkekuatan hukum dan bisa menjadi bukti di pengadian apabila karyawan mengingkari perjanjian,” bebernya.
“Lagipula menahan ijazah memberikan risiko hukum bagi perusahaan jika dokumen itu hilang atau rusak. Karyawan bisa mengajukan gugatan hukumm terhadap perusahaan atas kelalaian tersebut,” pungkas Feby Hermawan, S. H. (fai)