Menelusuri Jejak Antikolonialisme di Museum Multatuli Rangkasbitung
Timurmedia, Rangkasbitung – Museum Multatuli menjadi saksi perjuangan anti kolonialisme Belanda di Indonesia, museum yang diresmikan pada Februari 2018 ini didedikasikan untuk mengenang perjuangan dan pemikiran besar Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli, berbagai jejak sejarah yang menggugah tentang ketidakadilan sosial dan penindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia selama masa penjajahan.
Mengunjungi museum Multatuli cukup mudah karena tersedia transportasi umum seperti kereta commuter line. Tim kami mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Tangerang Raya menggunakan kereta cummuter line dari Stasiun Daru Tangerang menuju stasiun Rangkasbitung, setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit kami tiba di Stasiun Rangkasbitung, lalu kami menggunakan angkot menuju Museum Multatuli, hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di Museum Multatuli.
Edukator Museum Multatuli Siti Nurhasanah menyambut kami, ia menjelaskan penamaan museum “Multatuli” bukan sekadar sebuah nama pena, tetapi simbol perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan.
Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang penulis dan aktivis sosial Belanda yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah sastra dan perjuangan antikolonialisme di Indonesia. Nama “Multatuli” berasal dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah banyak menderita” atau “Aku telah cukup menderita.”
“Multatuli diambil dari bahasa latin, terdiri dari dua kata Multa artinya banyak, kemudian Tuli artinya Penderitaan. Jadi, artinya Banyak Penderitaan,” kata Nurhasanah di Museum Multatuli Rangkasbitung, Lebak, Banten Sabtu (21/12/2024).
Penggunaan nama ini mencerminkan pengalaman hidup Douwes Dekker yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, baik secara pribadi maupun dalam konteks sosial yang lebih luas.
Multatuli dan Pemikiran Antikolonial
Multatuli seorang pejabat kolonial Belanda yang kemudian menjadi penulis dan aktivis terkenal melalui karyanya yang luar biasa yaitu Max Havelaar. Dalam karyanya tersebut, ia mengkritik keras sistem kolonial Belanda yang memperlakukan rakyat Indonesia dengan tidak adil, terutama melalui sistem tanam paksa dan eksploitasi ekonomi yang merugikan pribumi.
Museum Multatuli di Rangkasbitung bukan hanya sebagai tempat untuk mengenang sosoknya, tetapi juga untuk menggali lebih dalam mengenai jejak anti kolonialisme yang tertinggal di daerah tersebut.
“Saking cintanya masyarakat Kabupaten Lebak kepada sosok Eduard Douwes Dekker ini karena memang dia dianggap sebagai tokoh pergerakan melalui mahakaryanya Max Havelaar,” kata Nurhasanah.
Pengaruh Multatuli dalam sejarah pergerakan antikolonialisme di Indonesia sangat besar. Melalui kritiknya terhadap sistem kolonial Belanda, Multatuli memicu diskursus tentang keadilan sosial dan kemanusiaan di kalangan intelektual Belanda dan Indonesia. Karyanya membuka mata banyak orang di Eropa tentang kekejaman yang terjadi di Hindia Belanda, yang kemudian menjadi pemicu bagi gerakan-gerakan perlawanan di Indonesia.
Museum Multatuli tidak hanya sekadar tempat untuk mengenang tokoh tersebut, tetapi juga sebagai simbol semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Di dalamnya, pengunjung dapat meresapi pesan-pesan yang terkandung dalam karya Multatuli, serta menggali lebih dalam tentang betapa pentingnya kesadaran sejarah dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Koleksi Museum yang Menceritakan Sejarah Kolonial di Banten
Museum Multatuli menyimpan berbagai koleksi utama yang menggambarkan jejak antikolonialisme, termasuk patung Multatuli yang terkenal, serta dokumen-dokumen sejarah yang mencerminkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penindasan kolonial, seperti pemberontakan petani Banten 1888, perabotan, foto-foto sejarah, dan dokumen- dokumen penting yang menceritakan kehidupan rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Belanda.
Nurhasanah mengatakan, barang yang dipajang dalam Museum Multatuli pada umumnya bersifat replika, kecuali koleksi buku asli Max Havelaar. Koleksi-koleksi ini tidak hanya memberikan informasi tentang kehidupan dan karya Multatuli, tetapi juga menggambarkan dampak luas dari kebijakan kolonial terhadap masyarakat lokal.
Jejak berbagai tokoh penting dalam sejarah antikolonialisme dipamerkan di museum ini. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Multatuli sendiri, yang dikenal sebagai pelopor kritik terhadap kolonialisme, serta Soekarno, R.A. Kartini, Tan Malaka, dan WS Rendra. Masing-masing dari mereka memiliki kontribusi signifikan dalam membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap ketidakadilan yang dialami oleh bangsa Indonesia selama masa penjajahan.
Museum Multatuli banyak menyoroti periode sejarah antikolonialisme dari awal kedatangan kolonialis Eropa di Nusantara pada abad ke-14 hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Pameran ini mencakup berbagai aspek perjuangan rakyat melawan penindasan, termasuk kebijakan tanam paksa dan dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satu bagian yang paling menarik dari museum ini adalah pameran yang mengupas isi Max Havelaar, sebuah karya yang menjadi suara perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial.
Melalui berbagai koleksi yang ada, museum ini menunjukkan bagaimana kebijakan kolonial, yang sering kali disertai dengan kekerasan dan penindasan, mempengaruhi kehidupan masyarakat Banten secara luas. Melalui karya-karya Multatuli dan koleksi sejarah yang ada, museum ini memberikan kesempatan untuk mengingat kembali masa-masa kelam penjajahan, sekaligus mengajak kita untuk lebih menghargai nilai kemerdekaan dan menjaga agar sejarah tidak terlupakan.
Tim Liputan: Ana Tasya Kamila, Ahmad Suiman, Ayu Indria Putri, Muhammad Heru Adriansyah, Muhammad Shofi Alfiyani, Dita Rizki Mawadahtur Rohmah, Firda Pebriyanti (Mahasiswa semester 5 PBSI FKIP Universitas Tangerang Raya).