Majalah Rolling Stone: Mengubah Kertas, Berganti Gaya
Pada 1970-an, Rolling Stone menjadi makin besar. Sebelumnya mereka adalah salah satu nama terbesar di jagat penulisan populer, kemudian jadi yang terbesar.
JOE Hogan, penulis biografi Jann Wenner, mencermati perubahan ini, yang kemudian diikuti perubahan bahan majalah, lalu pindah kantor.
“Begitulah caramu menarik pembaca. Meningkatkan penampilan, dari kertas murah ke kertas yang glossy, juga pindah dari San Francisco ke Manhattan,” tulis Hogan.
Di era 1970-an, Rolling Stone juga menabalkan diri sebagai media musik yang melek politik. Salah satu penulis yang mengawali tradisi tulisan politik di sana adalah Hunter S. Thompson. Artikel pertama penulis yang melahirkan genre jurnalisme gonzo itu adalah “The Battle of Aspen”, kisah tentang dirinya yang ikut dalam pemilihan kepala sheriff di Colorado.
Di masa itu pula, Rolling Stone melahirkan penulis-penulis yang kelak jadi tenar. Mulai dari Lester Bangs, Joe Klein, Ben Fong-Torres, Greil Marcus, dan tentu saja Cameron Crowe. Dia yang kemudian membuat film Almost Famous, kisah tentang wartawan muda bernama William Miller yang mengikuti band fiktif Stillwater untuk ditulis ke Rolling Stone. Kisah Miller diambil dari pengalaman Crowe ketika mengikuti tur bareng The Allman Brothers, Led Zeppelin, juga Lynyrd Skynyrd.
Pada 1980-an, Rolling Stone kembali memperlebar jangkauannya. Mereka tak hanya mengulik musik, tapi juga budaya hiburan lain. Dari film, hingga kisah selebritas. Itu terus berlanjut hingga 1990-an ketika Rolling Stone mulai berupaya menjaring pembaca muda dari generasi yang berbeda. Maka Rolling Stone banyak menulis tentang acara televisi populer, juga kehidupan aktor dan aktris yang sedang digandrungi.
Samuel Freedman, mantan jurnalis The New York Times dan pengajar di Columbia University Graduate School of Journalism, mengkritik perubahan gaya itu dengan menyebut Rolling Stone telah “menjual kecerdasan mereka.”
Selanjutnya, dari sana memang jalanan terus turun bagi Rolling Stone. Mereka beberapa kali bikin kesalahan besar, walau artikel-artikel investigasi dari Matt Taibbi banyak dipuji. Namun suara sumbang lebih banyak terdengar. Sejak era 2000-an, kritik datang dari pembaca yang menganggap Rolling Stone terlalu condong pada musik era 1960-1970-an.
Isu Dzhokhar juga bikin majalah yang pernah terbit di 21 negara—termasuk Indonesia—ini dikritik keras. Pada 2014, Rolling Stone memuat laporan berjudul “A Rape on Campus”, yang mengisahkan tentang dugaan pemerkosaan massal di Universitas Virginia. The Washington Post mengkritik laporan itu, membeberkan kesalahan, ketidakakuratan, juga fakta yang tak dimasukkan dalam tulisan.
Rolling Stone kemudian menerbitkan tiga permohonan maaf resmi atas cerita yang ditulis reporter Sabrina Erdely itu. Will Dana, yang pada 2014 menjabat sebagai Managing Editor, kemudian membentuk komisi investigasi dari Columbia School of Journalism untuk menyelidiki masalah dalam artikel itu.
Namun tindakan itu tak cukup. Rolling Stone banyak digugat, baik oleh perkumpulan mahasiswa Phi Kappa Psi, hingga dari Associate Dean Universitas Virginia, Nicole Eramo. Meski banyak dikritik keras, Rolling Stone masih tetap berusaha menggelinding.
Jann Wenner menjual 49 persen saham majalah ini ke perusahaan Singapura, BandLab. Lalu pada Desember 2017, Wenner Media mengumumkan 51 persen saham sisa sudah dibeli oleh Penske Media, sebuah perusahaan penerbitan media digital.
Setelahnya, format Rolling Stone berubah jadi bulanan. Era baru memang sudah datang. Wenner sudah tak lagi ikut campur perkara Rolling Stone, anak ideologisnya yang dibuat dengan penuh semangat menggebu nan naif ala remaja awal 20 tahun.
Kini dia akan melihat dari jauh, seberapa lama lagi Rolling Stone masih bisa menggelinding. Dalam kolomnya untuk memperingati 50 tahun Rolling Stone yang dia tulis untuk The Guardian, Wenner menuliskan perasaannya, seperti mengabarkan jalanan turun yang akan terus dilewati Rolling Stone.
“Kami tidak akan bisa lebih hebat lagi ketimbang ini. Kami sudah pernah di puncak.” (*)