Bukan Kisah Sinetron

(Satire untuk Yondi Marsiandi)
Oleh: Ickur

Saat seperti inilah yang selalu menyisipkan was-was dan rasa ragu ke dalam hatiku, saat ketika aku masih berada di luar rumah menjelang maghrib ketika matahari tergelincir ke barat hingga menyisakan percikan cahaya merah yang menggantung kecil di tepi langit, disambut suara adzan yang sahut menyahut antar masjid yang kulewati.

Jalan raya yang kulalui semakin padat, kendaraan yang melintas melaju dengan kecepatan tinggi, mungkin mereka dipicu hasrat untuk secepatnya tiba di rumah melepas penat berkumpul bersama keluarga setelah sepanjang hari berada di luar rumah untuk mencari nafkah.

Di tengah derasnya arus kendaraan, aku harus memutar arah karena orderan yang kuterima ternyata berbeda arah dengan yang kutuju. Namanya Meisya, perempuan setengah baya, itu terlihat dari beberapa kerutan di wajahnya dan sebagian rambutnya yang mulai memutih.

Orderan dengan mengantar penumpang jarak jauh seperti ini bisa mendongkrak penghasilan, sempat kuintip di layar aplikasi tertulis tagih tunai dua puluh tujuh ribu rupiah.

Bu Meisya ini orangnya tidak rewel, biasanya penumpang minta untuk ngebut melampaui kecepatan maksimum yang ditetapkan Aplikasi Ojol, tapi Bu Meisya hanya mengarahkan ke jalan yang harus dilalui supaya cepat tiba di tujuan, karena portal belakang perumahan yang merupakan akses tercepat menuju rumahnya ditutup pada jam delapan belas maka kami ikut arahan peta online saja.

Masjid-masjid yang kulalui telah mengumandangkan Iqamah dan ada beberapa yang telah melaksanakan Shalat maghrib berjama’ah, sementara aku masih harus menyelesaikan tugas mengantar penumpang sampai ke tujuan.

Aku selalu diperhadapkan pada persimpangan pilihan antara meneruskan kerjaan atau berhenti sejenak untuk bersujud kepada sang Pencipta sebagai ucapan rasa syukur karena telah menciptakanku malalui kedua orang tuaku di titik kecil semesta ini.

Dan selalu saja tidak banyak jeda yang diberikan oleh waktu yang setia bergulir ke masa depan tanpa henti, aku selalu mengambil pilihan untuk meneruskan pekerjaan yang hasilnya sebenarnya hanya recehan, mengumpulkan recehan demi recehan untuk tetap bisa mempertahankan hidup yang layak, yang sederhana, dan sangat sederhana.

“Rumahku melewati Mushalla yang di sebelah kiri itu, trus kita belok kiri, nah rumahku yang diujung sebelah kiri itu”. Kata Bu Meisya memberikan arahan.

“Jadi kita melewati Mushalla ya bu?” Tanyaku.

“Iya, Mushalla perumahan yang di sebelah kiri itu”. Jawab Bu Meisya.

Kami lewat sebelah Mushalla persis ketika Imam membaca ayat akhir surat Al Fatihah pada raka’at kedua. Di depan rumah Bu Meisya, menunggu seekor anjing yang tidak terlalu besar tetapi langsung menggonggong ke arahku persis saat motor kuhentikan. Tetapi anjing itu kemudian menjauh mengikuti bu Meisya masuk melewati pintu pagar rumah.

Buru-buru aku matikan aplikasi ojol, memutar arah motor menuju Mushalla purumahan yang tidak jauh dari rumah bu Meisya, mumpung waktu shalat maghrib belum berlalu.

Aku masuk ke tempat wudhu saat Imam dan Jamaah shalat maghrib sedang khusu’ membaca dzikir dan wirid usai shalat.

Sebenarnya aku masih sempat untuk ikut shalat berjamaah meskipun menjadi jama’ah masbuq, tapi aku memilih untuk mendirikan shalat di teras masjid, pertama, aku sepanjang hari berada di luar rumah, belum sempat mandi, jadi perasaan gerah serta kurang segar sangat terasa. Kedua, aku takut jamaah di kiri kananku terganggu oleh bau tidak enak, mungkin dari tubuhku atau dari pakaian yang kukenakan.

Lebih baik menghindari kemungkinan orang di sekelilingku mengumpat atau punya prasangka yang tidak baik karena aku, itu sama saja aku menjadi penyebab mereka mendapatkan dosa akibat prasangka buruk dan umpatan meski dalam hati.

Aku lebih baik memilih untuk tidak mendapatkan amalan sunnah shalat berjamaah daripada menjadi penyebab orang mendapatkan dosa karena terganggu oleh kehadiranku di antara mereka.

Dan bayangan itu muncul lagi, bayangan yang dipicu oleh perasaan ataukah pikiran takut kehilangan banyak orderan, bahkan anyep alias orderan sepi lantaran mematikan aplikasi di waktu-waktu yang ramai oleh orderan. Padahal target penghasilan hari ini belum terpenuhi, sisa sekutar empat puluh ribu rupiah lagi. Itu berarti harus menyelesaikan lima orderan jarak pendek lagi.

Dengan segenap daya dan upaya aku membeningkan pikiran, berusaha mengheningkan rasa, berdiri tertunduk menatap lantai yang sebentar lagi akan jadi tempatku bersujud. Aku berniat dalam hati sebelum melafazkan niat shalat maghrib, bahwa bayangan atau pikiran yang datang ini hanyalah makhluk Allah yang barangkali ingin bermakmum kepadaku pada shalat maghrib ini, dan …

“Allahu Akbar”. Takbiratul Ihram.
###

Orderan selalu ramai di sekitar waktu menjelang maghrib sampai Isya karena bertemunya dua moment antar waktu pulang kerja dan waktu makan malam.

Bagaimanakah perasaan orang-orang yang kerjanya mendapatkan hasil “uang gelondongan” atau bergaji “super banyak” di saat-saat seperti ini? sedangkan aku saja yang hanya mendapatkan uang recehan selalu memilih dan mendahulukan waktu kerja daripada waktu untuk beribadah.

Kata Ustadz Qohar “shalat fardhu adalah ibadah wajib yang tidak bisa ditinggalkan karena kalau ditinggalkan maka di akhirat kelak kita akan mendapatkan siksa. Dan waktu pelaksanaannya lebih utama tepat waktu dan lebih utama lagi dilaksanakan secara berjama’ah”.

Aku bukan pembuat kebijakan yang bisa menyesuaikan waktu kerja dengan waktu shalat supaya bisa selalu melaksanakan shalat secara berjamaah dan tepat waktu.

Aku tidak mampu mengontrol konsumen untuk menghentikan orderan pada waktu menjelang maghrib sampai selesai waktu shalat isya. Dan lagian konsumen tidak semua beragama Islam dan mereka punya hak yang sama untuk menggunakan layanan aplikasi Ojol, bahkan yang beragama Islam pun tidak akan perduli dengan kegelisahan yang kualami ini, baik mereka yang tidak melaksanakan shalat kerena “dilarang syar’i” maupun yang tidak melaksanakan shalat karena “melanggar syar’i”.

Yang dilarang Syar’i misalnya perempuan yang sedang haid atau habis melahirkan, yang melanggar Syar’i dengan alasan malas, tidak terbiasa, maupun dengan alasan ilmu dan alirannya sudah sangat tinggi sehingga melampaui kewajiban shalat fardhu, padahal shalat fardhu itu rukun Islam yang kedua yang wajib dikerjakan dan tidak bisa diwakilkan kepada siapapun.

Kegelisahan ini akhirnya aku ceritakan ke Ustadz Qohar, seorang Ustadz Gaul yang suka nongkrong.

“Adakah cara yang bisa membebaskan kita dari kewajiban shalat?” Tanyaku ke Ustadz Qohar.

“Ada!!!” Kata Ustadz Qohar.

“Alhamdulillah”, kataku dalam hati. Kiranya inilah yang aku cari selama ini, bukan kerena aku tidak mau melaksanakan Shalat Fardhu ataupun karena aku malas melaksanakan shalat, tapi alokasi waktu yang tersedia untukku sebagai Driver Ojol hampir tidak memberi kesempatan untuk disesuaikan dengam waktu shalat.

“Apa itu, Tadz?” Tanyaku dengan penuh harap.

“Waduh, berat bro!!!” Jawab Ustadz Qohar sembari tersenyum.

“Biar seberat apapun klo aku sanggup akan kulakukan, yang penting tidak melanggar perkara yang diwajibkan syariat!”. Kataku dengan semangat membara.

“Kita dudukkan dulu perkara shalat fardhu ini, gak perlu ngegas. Kita bahas secara sederhana gak perlu tinggi-tinggi pembahasannya ntar kepala jadi pusing kalo ketinggian. Kita sudah sama-sama tahu bahwa shalat fardhu itu wajib, dan orang yang akan shalat harus mengetahui syarat wajibnya shalat”. Kata Ustadz Qohar dengan bahasa yang tertata rapi dan mudah dipahami.

Aku menyimak dengan penuh perhatian kata per kata, seolah siap mengedit tiap kata jika ada yang keliru terlontar dari ucapan Ustadz Qohar.

“Orang yang diwajibkan shalat yang pertama adalah orang yang beragam Islam. Gimana, apa bro Driver masuk ke dalam syarat wajib yang pertama ini? Kalo gak masuk, berarti bro tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat”. Tanya Ustadz Qohar sembari tertawa ringan.

“Ya iyalah, Tadz!”. Jawabku sembari tersenyum tipis.

“Kedua, sudah baligh. Tentu bro driver uda baligh, kan uda punya istri dan anak, jadi syarat kedua ini gak bisa dipakai untuk menggugurkan shalat bro Driver”. Ustadz Qobar berhenti sejenak, menyesap kopi dan lanjut bicara.

“Ketiga, Tamyiz, atau sering disebut dengan istilah “berakal sehat”. Nah ini dia peluang untuk bro Driver menggugurkan kewajiban Shalat. Orang yang tidak berakal sehat tidak wajib untuk shalat. Ada dua orang yang masuk ketegori kehilangan akal sehat; pertama adalah orang yang sedang mabuk, tapi inikan melanggar larangan Allah karena harus minum minuman yang diharamkan syariat. Nah peluangnya ada di bagian kedua, bro Driver bisa dibebaskan dari kewajiban shalat.” Ustadz Qohar berhenti sejenak berdehem beberapa kali kemudian melanjutkan penjelasan

“Orang yang juga masuk ke dalam kategori tidak berakal sehat adalah orang gila., Orang gila gak diwajibkan melaksanakan shalat!, Jadi kalo bro Driver mau bebas dari kewajiban shalat, ya jadi orang gila dulu, benaran orang gila loh ya, bukan pura-pura gila.”. Penjelasan Ustadz Qohar diakhiri dengan tawa lepas dari kami berdua.

Jadi janganlah buru-buru memvonis buruk orang yang tidak melaksanakan shalat karena mungkin secara syar’i orang tersebut terbebas dari kewajiban shalat, gila.

Ustadz Qohar masih memberi penjelasan tentang beberapa hal mengenai shalat. Seperti perbedaan shalat yang dilaksanakan tepat waktu (Ada’an) dan shalat yang dilaksanakan di luar waktu “shalat tertentu” baik karena tidur atau lupa (Qadhaan), cara menggabungkan dua waktu shalat dan shalat apa saja yang bisa digabungkan waktunya (Jamak), cara meringkas shalat dan shalat apa saja yang bisa diringkas (qasar), serta cara menggabungkan waktu sekaligus meringkas shalat (Jamak Qasar)., Semua harus berdasarkan syarat dan ketentuan yang sudah ditetapkan, tidak boleh dilaksanakan seenak hati.

Penjelasan Ustadz Qohar ini selalu mudah kumengerti karena disampaikan dengan bahasa sederhana, diselingi guyonan serta tidak menyinggung perasaan orang yang mendengar. Aku mulai paham bahwa kewajiban Shalat itu bukan perkara sulit dan memberatkan justru banyak kemudahan di dalamnya kalau kita mau mempelajari atau bertanya kepada orang yang lebih paham.
###

Usai menunaikan shalat maghrib di mushalla perumahan itu aku berdo’a untuk kedua orang tuaku, keluarga dan keselamatan dunia akhirat dengan do’a singkat yang dulu susah payah aku hafalkan waktu mengaji pada Almarhumah bu Ima, tentu dengan pelafalan huruf yang kurang fasih karena aku mengaji Al Qur’an tidak sampai khatam. Dan aku tidak membaca dzikir dan wirid karena diburu waktu untuk mengaktifkan aplikasi ojol.

Ketika menyalakan motor diparkiran, seseorang memanggilku di seberang pintu samping Mushalla.

“Mungkin dia mau pesan orderan offline.” Kataku dalam hati.

Aku langsung menghampiri, dengan sedikit membungkuk untuk menunjukkan kesopanan, aku bertanya “ada apa, mas?”.

Orang itu mengeluarkan beberapa lembaran uang dari kantong celananya dan menyodorkan kepadaku satu lembar uang berwarna biru, lima puluh ribu rupiah.

“Ini mas”. Kata orang itu.

“Ini untuk apa, mas?” Tanyaku dengan heran.

“Ini hadiah atau pemberian untuk kamu atau apa sajalah namanya” jawab orang itu.

“Sedekah ya, mas?” Tanyaku

“Anggap aja seperti itu”. Jawabnya.

“Namanya siapa, mas?’ tanyaku lagi.

“Abdillah”. Jawabnya.

Aku kemudian menengadahkan tangan berdo’a memohon kepada Allah untuk keselaman orang ini dunia dan akhirat, dan beberapa orang yang berada di tempat itu ikut mengaminkan.

Seperti kisah sinetron, sang bintang diskenariokan untuk kalah atau susah payah di awal tapi selalu berakhir jadi pemenang. Tapi ini bukan kisah sinetron, walau hari ini target pendapatan telah cukup dengan sedekah dari Abdillah tadi, tapi kisah hidupku sebagai Driver Ojol belum berakhir, besok dan hari-hari berikutnya tetap harus berjuang di jalan, bertarung dengan terik mentari atau deras hujan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga.*

Selengkapnya...
Back to top button

You cannot copy content of this page