Bendera RMS di Sepatu Landzaat(?) 

Bendera RMS di Sepatu Landzaat(?)

Oleh: Ickur

Sepak bola bukan hanya sekumpulan laga di atas lapangan hijau; itu adalah karpet yang menyatukan berbagai narasi, sejarah, dan emosi dari sebuah bangsa. Di tahun 2025, sebuah cerita baru berkembang ketika Denny Landzaat, seorang mantan pemain Timnas Belanda dengan darah Maluku, diangkat sebagai asisten pelatih Timnas Indonesia di bawah Patrick Kluivert. Namun, di balik kedatangan ini, ada sebuah cerita yang lebih gelap dan kompleks, satu yang melibatkan Republik Maluku Selatan (RMS) dan bagaimana seorang individu dapat menjadi perwujudan dari ketegangan historis antara identitas, politik, dan olahraga.

Profil dan Perjalanan

Denny Landzaat lahir di Amsterdam pada tanggal 6 Mei 1976, tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi dan sejarah Maluku. Ibu Landzaat, yang datang ke Belanda dari Maluku pada usia dua tahun, membawa dengan dirinya cerita perang dan perjuangan. Dia adalah bagian dari eksodus besar-besaran tentara Maluku yang melawan Republik Indonesia di samping pasukan Belanda. Landzaat, dengan latar belakang seperti itu, tidak hanya tumbuh dengan bakat sepak bola yang mumpuni tetapi juga dengan kesadaran mendalam akan sejarah dan perjuangan keluarganya.

Perjalanan Landzaat dalam sepak bola membawanya dari akademi Ajax hingga stadion-stadion besar Eropa dan akhirnya ke ranah kepelatihan. Dia menjadi asisten pelatih di berbagai klub, mulai dari AZ Alkmaar, Feyenoord, hingga menyeberang ke Timnas Indonesia. Namun, kedatangannya ke Indonesia bukan tanpa kontroversi.

Sebuah Sejarah yang Tidak Pernah Usai

Untuk memahami kontroversi ini, kita harus menyelami sejarah RMS. Pada 25 April 1950, di tengah pergolakan pasca-perang kemerdekaan Indonesia, sekelompok orang Maluku di Ambon mendeklarasikan RMS, bertujuan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia yang baru terbentuk. Gerakan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Dr. Chris Soumokil, yang akhirnya dieksekusi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

RMS tidak pernah berhasil mencapai kemerdekaan, tapi aspirasinya menemukan tempat di hati banyak orang Maluku di Belanda, termasuk keluarga Landzaat. Meskipun gerakan ini dinyatakan sebagai pemberontakan oleh pemerintah Indonesia, bagi banyak orang Maluku di diaspora, itu adalah perjuangan untuk identitas dan hak-hak mereka.

Ikatan Emosional atau Politik?

Denny Landzaat tidak sembunyi-sembunyi dengan dukungannya terhadap RMS. Pada tahun 2010, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang para pemain Belanda keturunan Indonesia, termasuk Landzaat, untuk bertemu, ia menolak secara terbuka. Alasannya? Landzaat mengatakan bahwa Indonesia telah menindas bangsanya, Maluku, dan bahwa tidak ada kebebasan berpendapat di Indonesia. Dia juga pernah menjahit bendera RMS pada sepatu sepak bolanya, sebuah simbol perjuangan yang ia gunakan untuk menegaskan identitasnya.

Ini bukan hanya masalah politik; ini adalah masalah identitas, sebuah ikatan emosional yang dalam dengan sejarah dan perjuangan leluhurnya. Namun, ketika berita tentang penunjukannya sebagai asisten pelatih Timnas Indonesia muncul, Landzaat menghapus postingan media sosialnya yang mendukung RMS. Apakah ini tanda bahwa ia menginginkan kesempatan baru tanpa beban masa lalu, atau adakah tekanan dari luar yang membuatnya merasa perlu untuk menutup halaman sejarah ini?

Reaksi Indonesia dan Pertanyaan Moral

Indonesia, sebuah negara yang bangga dengan kesatuan dan keberagaman, menemukan dirinya dalam posisi yang sulit. Bagaimana sebuah negara yang memiliki luka sejarah dengan gerakan separatis seperti RMS menyambut seseorang yang pernah mendukung gerakan tersebut ke dalam tim nasionalnya?

Reaksi publik di Indonesia bervariasi. Ada yang merasa bahwa Landzaat harus diberikan kesempatan untuk berkontribusi kepada sepak bola Indonesia dengan pengetahuan dan pengalamannya. Namun, ada juga yang khawatir bahwa latar belakang politiknya bisa menjadi sumber konflik atau kesalahpahaman, terutama di Maluku, di mana kenangan RMS masih segar di hati banyak orang.

Pertanyaan moral muncul: Apakah seseorang harus dinyatakan tidak layak untuk posisi berdasarkan kepercayaan politik atau sejarah keluarga? Apakah kita bisa memisahkan antara profesionalisme dan politik pribadi? Diskusi ini bukan hanya tentang sepak bola; ini adalah tentang bagaimana kita sebagai masyarakat menangani ketegangan historis dan identitas.

Persimpangan Sepak Bola dan Politik

Sepak bola sering kali menjadi ranah di mana politik dan olahraga bertemu. Kasus Landzaat menunjukkan bagaimana seorang pelatih bisa menjadi simbol dari pergolakan politik dan identitas.

PSSI, sebagai federasi sepak bola Indonesia, menghadapi tantangan besar untuk memastikan bahwa Timnas Indonesia tetap menjadi simbol kesatuan dan kebanggaan nasional sambil memanfaatkan talenta internasional seperti Landzaat. Bagaimana mereka mengelola situasi ini akan menjadi teladan bagi dunia olahraga dalam menghadapi isu-isu politik yang kompleks.

Apa yang Bisa Diharapkan?

Dengan Landzaat di tim kepelatihan, pertanyaannya adalah apakah ia akan mampu mengesampingkan kontroversi sejarahnya demi fokus pada pengembangan sepak bola di Indonesia? Bisa jadi ini adalah kesempatan untuk dialog yang lebih luas tentang sejarah, penyembuhan, dan integrasi dalam masyarakat Indonesia.

Apakah Landzaat akan menjadi jembatan antara dua budaya yang kadang bertabrakan atau apakah ia akan tetap menjadi simbol dari perpecahan? Hanya waktu yang akan memberikan jawaban, namun yang pasti, setiap langkah yang ia ambil akan diperhatikan dengan cermat oleh banyak pihak.

Buat sendiri Kesimpulannya

Cerita Denny Landzaat dan RMS adalah peringatan bahwa dalam olahraga, seperti dalam kehidupan, sejarah tidak pernah benar-benar terpisah dari masa kini. Ini adalah cerita tentang identitas, perjuangan, dan penyembuhan, yang dikemas dalam bentuk sepak bola.

Diskusi yang tercipta dari tulisan ini bukan hanya tentang satu orang atau satu peristiwa; ini adalah tentang bagaimana kita sebagai masyarakat berhadapan dengan masa lalu kita, bagaimana kita membangun masa depan, dan apa artinya menjadi bangsa yang satu. Dengan Landzaat, Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sepak bola bisa menjadi alat untuk membangun pemahaman dan persatuan, bahkan di antara perbedaan yang mungkin tampak tak terjembatani.

Mari kita diskusikan: Apakah sejarah pribadi seseorang harus menentukan peran mereka dalam bidang publik? Bagaimana kita sebagai penggemar sepak bola dan warga negara bisa mendukung atau menanggapi situasi seperti ini? Dan yang terpenting, apakah sepak bola bisa menjadi lebih dari sekadar permainan – apakah bisa menjadi media untuk penyembuhan dan kesatuan nasional?

Selengkapnya...
Back to top button

You cannot copy content of this page