Baitun Ni’mah; Cahaya Penuntun: Bagian II
Oleh: Ickur
(Komunitas Disorientasi)
Dalam scene film Gangubai, pelanggan yang datang berasal dari berbagai latar belakang profesi, para pelanggan ini tidak pernah terkena imbas citra negatif meskipun menjadi pelanggan di rumah bordir yang di kelolah oleh Gangubai. Padahal pelaku transaksi adalah keduanya; pekerja dan pelanggan, tapi yang kena hujatan dan kutukan adalah para pekerja.
Begitulah seterusnya, seperti pertarungan hitam dan putih yang dikondisikan untuk tidak saling bisa berpengaruh menjadi warna lain selain kedua warna itu. Yang hitam dilekatkan kepadanya semua label buruk tanpa diberi kesempatan untuk bersuara, untuk menjelaskan, untuk menyatakan dirinya sendiri, dan menjawab pertanyaan tentang apa itu hitam? kenapa dia hitam? Sejak kapan menjadi hitam? Apakah dia terlahir bahkan tertakdir untuk menjadi hitam? Ataukah dia dihitamkan? Kalau dia dihitamkan, kanapa? Siapa yang menghitamkan?. Dan seterusnya.
Diperparah dengan kuatnya cara berpikir stagnan yang bercokol dalam kepala masyarakat. Cara berpikir stagnan seperti ini memandang sesuatu yang ada sudah tetap dan tidak akan berubah, beda dengan cara berpikir visioner yang memandang sesuatu yang ada itu tidak tetap tapi selalu berubah. Bisa berubah jadi baik atau bahkan menjadi lebih buruk.
###
Jika dari arah jalan raya mau menuju ke madrasah harus melalui kawasan lokalisasi. Di sinilah setting suasana dalam film Gangubai Kathiawadi mempunyai kemiripan.
Beberapa tahun yang lalu, aku mendengar (hear), bukan menyimak (listen) wacana yang berkembang dan kemudian menjadi bahan diskusi antara si Kepala Madrasah dengan pihak pemerintah. Si Kepala Madrasah mengusulkan untuk mengusir (baca: relokasi) tempat lokalisasi yang berdekatan dengan areal Madrasahnya, bukan tempatnya yang dipindahkan tapi pelakunya, atau Lokalisasi Kenikmatan itu dialih fungsikan, alasannya mirip yang digunakan sebagai alasan oleh Sekolah Agama dalam film Gangubai Kathiawadi, yang intinya tempat lokalisasi itu adalah tempat yang dilekati segala label buruk dari masyarakat, bertolak belakang dengan citra Madrasah sebagai sekolah Agama yang dilekati citra relijius tempat belajar ilmu untuk kebaikan dunia dan akhirat.
Pertanyaan dari pejabat pemerintah yang hadir pada saat itu “siapa yang lebih dulu berada di tempat itu?’. Jawabannya adalah “lokalisasi”. Ternyata Baitun Ni’mah (Rumah Kenikmatan) lebih dulu berada dan beraktivitas di situ sebelum Madrasah itu dibangun. Jadi siapa yang mengganggu dan siapa yang diganggu?
Bedanya, di “Baitun Ni”mah”, tetangga Madrasah itu tidak terlahir sosok seperti Gangubai yang menjadi tokoh utama dalam film Gangubai Kathiawadi. Gangubai adalah seorang figur perempuan yang berada di tengah-tengah “Baitun Ni’mah” (Rumah Kenikmatan). Berani menanggung resiko apapun untuk dapat mempertahankan hak kaumnya. Gangubai bukan orang luar yang datang dan mengklaim diri secara heroik sebagai wakil yang memperjuangkan kepentingan penghuni Baitun Ni’mah. Dia membela dan menyuarakan persamaan hak para Pekerja Seks Komersil.
Gangubai dengan kepala tegak berjuang melawan semua bentuk perlakuan tidak adil yang diterima ribuan orang yang berkerja di Baitun Ni’mah. Gangubai bukan perempuan pembual atau sekedar “tukang curhat” yang menulis keluh kesahnya sembari tetap menerima nasib tinggal dalam kungkungan suami sebagai istri kedua, dan kelak riba-tiba dijadikan pahlawan.
Kata Gangu dalam film Gangubai Kathiawadi “bisnis tertua di dunia adalah prostitusi”. Bisnis ini akan selalu ada(?), Jadi daripada sibuk menghakimi mereka dengan berbagai stigma dan perlakuan buruk, apakah tidak lebih baik jika mereka diberi akses pendidikan dan teknologi serta konseling agama. Tentu tidak mustahi jika diantara mereka terdapat “Gangubai Kathiawadi” atau bahkan melampauinya, yang kelak bisa menyuarakan hak dan meraih peluang yang tergelar di dunia yang mengarah ke Metaverse ini(?).
Ataukah tudingan dari Gangubai Kathiawadi bahwa mereka hanya ditengok ketika waktu pemilu sudah dekat karena mereka bisa menyumbangkan suaranya dalam pemilu, atau hanya dianggap baik oleh orang-orang dari berbagai latar berakang SARA yang menikmati perkerjaan mereka yang tidak baik?.
Lalu apa guna Madrasah, Apakah guna institusi ini hanya untuk mengumpulkan orang-orang yang sudah baik kemudian dijadikan lebih baik? Dari terang menjadi lebih terang? Bukankah seharusnya lembaga pendidikan agama memberikan ilmu sebagai cahaya penuntun untuk menerangi jalan yang gelap?
###
Aku teringat candaanku kepada seorang kawan, “Kalau pemerintah Arab Saudi berencana membuat Virtual Reality Ka’ba dan Masjidil Haram di Metaverse, maka aku berencana untuk membuat Rumah Bordir di Metaverse”*