APA BEDANYA ADA ATURAN DENGAN TIDAK ADA ATURAN
Oleh, Adhi
(Komunitas Disorientasi)
Kamis, 9 Juni 2022
Negeri ini punya banyak pesulap hebat. Salah satu yang terbaik adalah magister Deddy Corbuzier. Bagaimana tidak hebat, lelaki berkepala plontos itu pernah dua kali menyabet world best mentalist dunia. Salah satu gelar bergensi pesulap dunia yang juga pernah didapatkan magician top, David Copperfield, si tukang menghilangkan benda-benda raksasa, salah satunya Patung Liberty punya Amerika.
Ngomongin pesulap, saya tak hendak bicarain profesinya. Si ahli tipu-tipu itu memang penghibur tiada banding. Para penonton bahkan rela antre bayar tiket mahal, duduk manis berjejer-jejer agar terperdaya dalam takjub. Saya ingin ngobrol yang lain tapi nyaris serupa. Sama-sama dibohongi, tapi sakitnya tuh di sini, kata Cita Citata dalam lagunya.
Kita masuk ke pokok obrolan, dimana baru-baru ini media sedang memberitakan segelintir pengusaha kecil yang protes tak kebagian kerjaan. Kata mereka, penguasa ikut campur urusan proyek untuk memenangkan orang dekatnya. Bahkan ada pula yang mengaku-aku orangnya pak Wali Kota. Bergerilya sana-sini minta jatah proyek ke dinas-dinas.
Merasa piring nasi akan ditumpah, sekelompok orang ini mengecam serakahnya penguasa. Tak hanya itu, mereka bahkan bakal mendemo Wali Kota tepat di depan Kantornya, 15 Juni nanti.
Pemprotes mendesak Wali Kota Balikpapan fokus saja mengatur kemaslahatan masyarakat Balikpapan. Dan, menyulap semua proyek untuk orang-orang dekat kekuasaan bukanlah kemaslahatan. Karena sejatinya, proyek yang akan ditender atau lelang jelas milik publik. Pengusaha punya hak yang sama untuk mendapatkannya, bertanding sesuai aturan dan syarat-syarat tentunya. Tak ada aturan harus orang dekat penguasa bukan?
Sebagai jurnalis, saya ikut mewawancara keluh kesah mereka soal atur-mengatur proyek itu. Mereka bilang keberadaan proyek-proyek di Balikpapan telah diatur dan dibagi-bagi. Baik pekerjaan yang di lelang maupun Pengadaan Langsung (PL). Katanya lagi, semua disabet orang-orangnya pak Wali.
Lebih dua jam saya menyimak mereka berceloteh menyampaikan unek-uneknya. Merekam hilir mudik percakapan, mengolahnya hingga layak diberitakan.
Dari pembicaraan itu, sebagian saya sortir, tak semua dimuat. Ada beberapa yang saya pikir ulang untuk menulisnya sebelum dikonsumsi para penikmat baca. Itu saya pikir berulang-ulang. Semisal, salah satu narasumber mengatakan bahwa Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas’ud selama setahun menjabat tak menorehkan satu pun prestasi. BPJS gratis, Seragam gratis, upaya mengatasi banjir, menurutnya bukanlah prestasi, karena memang ada dananya, tambah dia.
Saya tak menjadikannya berita, karena selain tak mendasar, mengatakan pemimpin tak ada benarnya walau secuil hanya khayal belaka, asumsi, dan bisa jadi ada tendensi dibalik itu. Mana ada pemimpin salah seratus persen, sebagaimana tak ada pemimpin yang benar seratus persen. Semua pasti ada baik buruknya.
Ambil contoh Presiden Soeharto yang dijuluki bapak korupsi, tetap saja julukan lainnya adalah bapak pembangunan. Itu terbukti dari banyaknya gedung yang berlomba-lomba mencakar langit. Adolf Hitler boleh dibilang manusia terkejam di dunia karena melakukan Genosida. Membantai sekitar 6 juta Yahudi Jerman karena menjaga ras Arya, ras unggulan eropa yang dia yakini. Diakui atau tidak, dalam masyarakat Eropa, postur orang Jerman dianggap cukup ideal karena ulah pembunuh massal Hitler. Dalam bukunya berjudul Mein Kampf (perjuanganku) Jilid I dan II. Manifesto Ideologi Fasisme Hitler dipaparkan di situ.
Begitu pula Amerika Serikat, bisa jadi bukanlah negara adidaya kalau saja batal menumpahkan dua bom di Hiroshima dan Nagasaki, ratusan ribu warga Jepang meregang nyawa di dua kota itu.
Kala Indonesia dijajah Belanda, ada Gubernur Jenderal Daendels yang memaksa pribumi kerja paksa. Dalam buku Jalan Raya Pos Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer. Si pelopor Kerja Rodi itu membuat jalan hingga ribuan kilometer, nama Jalannya Anyer-Panarukan. Membentang dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Pribumi dipaksa bekerja tanpa upah. Lebih 12 ribu pekerja meninggal saat itu. Jalan Daendels menjadi awal mula modernisasi di pulau Jawa.
Karena itu, beritaku tak memfasilitasi asumsi belaka yang potensi didebatnya begitu mudah. Terlebih bila modal argumentasinya like and dislike. Rasionalitasku tentu menolaknya. Karena Tuhan saja tidak membersamai orang bodoh, sebagaimana Tuhan menjauhi orang sok pintar.
Kembali soal atur-mengatur tadi, tentu kita masih ingat kasus yang menjerat Bupati Penajam Paser Utara (PPU) belum lama ini. Si Bupati bersama orang-orangnya tertangkap tangan KPK saat mengumpulkan komitmen fee dari kontraktor yang telah diatur untuk dimenangkan di Penajam.
Oia, menyoal Penajam, saya cerita sedikit pengalaman perihal yang diobrolin ini. Dulu, tahun 2010 saya pernah ikut atasan mengantar berkas lelang pekerjaan di Kabupaten Penajam. Kebetulan gelar akademisku adalah sarjana jurusan teknik sipil (bangunan) dan belum banyak tahu karena barusan lulus kuliah saat itu.
Saat selesai menyerahkan berkas, kami singgah di warung untuk makan dan minum kopi tak jauh dari Kantor Dinas PU Penajam. Atasanku bercerita. Kata dia, ini punya kita sembari memperlihatkan secarik kertas berisi belasan list proyek yang hendak di tender. Tiga diantaranya memang sudah ada tanda berupa lingkaran. Saya tak bertanya sebagaimana atasanku juga tak bercerita lebih jauh kenapa sesumbar itu pasti menang. Yang jelas, akibat obrolan itu, sepanjang perjalanan pulang ke Balikpapan, hayalku berkelahi dengan logika. “Kok bisa bilang menang, bahkan bertanding saja belum dilakukan,” sahutku dipikiran.
Usai mewawancara sekumpulan pemprotes yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Balikpapan itu, saya merangkai setiap paragraf agar jadi berita. Dan untuk menyempurnakan agar benar jadi sebuah berita, wartawan harus tetap berada tengah-tengah. Memberi porsi yang bertikai, agar berita tetap berimbang.
Melalui pesan whatsapp, Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas’ud saya tanyai ikhwal tudingan atur-mengatur proyek di atas. Berderinglah pesan singkat yang isinya tak kalah singkat. “Kalau terbukti, laporkan ke pihak terkait,” katanya membalas whatsappku.
Kembali kepembicaraan semula, sebagaimana suap menyuap, atur-mengatur bukan barang langkah di negeri ini. Kita sering saksikan tak hanya di televisi, warung kopi sudah kadung sering dibincangi. Jika pesulap punya tongkat untuk mengubah ada menjadi tiada. Di tangan kekuasaan, telunjuk punya mantra abra ka dabra. Sesuatu yang jelas ada aturan bisa kok diatur-atur ulang.
Pertanyaan yang bakal menggelinding terus-terusan adalah, jika segala hal yang sudah jelas diatur dalam peraturan bisa diatur-atur pakai orang dalam kekuasaan. Maka, apa bedanya aturan dengan tidak ada aturan.