Paradoks Men(Tu)ulis(an); Reinkarnasi dan Hidup Abadi

Oleh: Ickur

“Tulislah apa yang kamu lihat” kata almarhum Pramoedya Ananta Toer. Aku lupa di mana pernah membaca kutipan dari Pram ini(?). Yang jelas kutipan ini kujadikan sebagai petunjuk utama untuk menulis. Aku menggunakan semua yang pernah direspon oleh panca inderaku kemudian diolah dalam pikiran dan menghasilkan gagasan yang kutuangkan dalam berbagai kombinasi kata, membentuk kalimat, menumpuknya menjadi paragraf.

Dalam menyampaikan gagasan melalui tulisan, baik fiksi maupun non fiksi (aku gak paham atau tepatnya tidak mau paham batas antara keduanya), aku menulis sebanyak-banyaknya susunan kata untuk membentuk cerita dari apa yang ingin aku sampaikan. Pokoknya tulis saja dulu sebanyak-banyaknya, jangan pikirkan “nyambung” tidaknya antara satu paragraf dengan paragraf yang lain. Jangam langsung diedit, nanti kalau sudah mencapai minimal satu halaman barulah diedit. Perbaiki jika ada typo, sesuaikan jika ada kata-kata yang kurang enak dibaca, dan selaraskan pembahasan antar satu paragraf dengan paragraf yang lain. Usahakan jangan menghapus paragraf yang sudah ada, lebih baik menambahkan kata-kata supaya bisa menyesuaikan paragraf tersebut dengan paragraf lainnya, yang penting tidak melenceng jauh dari gagasan utama yang ingin disampaikan.

Kalau muncul ide dalam pikiran langsung tulis. Di zaman ini perangkat untuk mempermudah kita menuliskan gagasan telah banyak. Kalian punya smartphone, kan? Nah di smartphone kita terdapat aplikasi “catatan” bawaan yang bisa kita manfaatkan untuk menulis, kapan saja dan di mana saja. Mulai saja dengan menulis kejadian sehari-hari yang benar-benar dialami, bayangkan kembali serial peristiwa tersebut kemudian konversi dalam bentuk kata-kata sembari dituliskan ke aplikasi catatan.

Sebenarnya Kita bebas mengatakan apa saja dalam tulisan kita, bebas mengekspresikan pendapat, fantasi dan impian kita ke dalam sebuah tulisan, tapi kita juga dibatasi oleh aturan sosial yang sedang berlaku. Jadi selama tidak bertentangan dengan aturan sosial sampaikanlah gagasan itu.

Jangan kungkung diri dalam imajinasi populis. Maksudnya, apa yang telah atau akan kita tulis itu langsung disepadankan atau dibandingkan dengan karya penulis profesional yang sudah lebih dulu menghasilkan karya yang diterima dengan baik di kalangan pembaca. Ini yang biasanya membuat seseorang malas menulis. Takut tidak mendapat respon yang baik dari pembaca. Respon dari pembaca adalah bonus, tapi yang paling utama adalah kita bisa menyampaikan gagasan kita, menjadikannya arsip untuk kelak bisa dijadikan pelajaran atau setidaknya bahan perbandingan oleh anak cucu kita di masa depan, mereka tentu menghadapi tantangan zaman yang mungkin sangat berbeda dengan apa yang kita hadapi saat ini. Nah, tulisan ini merekam suasana batin dan dinamika sosial yang telah/sedang terjadi, mungkin ada yang berulang di masa yang akan datang atau masih relevan dengan situasi masa depan.

Justru karya tulis yang telah mendapat respon positif dari pembaca bisa dijadikan referensi dengan melihat cara mereka menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan, memperhatikan kombinasi kata yang digunakan, serta bagaimana mereka menyusun alur cerita yang menarik untuk dibaca.

Aku lebih memilih menulis “fiksi”, atau sebentuk alur cerita untuk menyampaikan gagasan yang sedang berdialog dalam kepala karena melalui fiksi aku merasa bebas menyampaikan ekspresi dan pesan apa saja yang ingin kusampaikan, mengkomunikasikannya lewat tulisan, mencomot nama-nama familiar untuk dijadikan tokoh, dan melekatkan watak yang pernah kujumpai dalam kehidupan bermasyarakat atau kombinasi beberapa watak ke dalam seorang tokoh. Mendialogkan antar watak, antar gagasan dan antar cara pandang yang ada dan dianut oleh masyarakat.

Setelah dianggap cukup membentuk suatu cerita yang telah mengandung gagasan yang ingin kusampaikan, tibalah saatnya untuk mempublikasikan. Sebelum era medsos, mencari jalur untuk publikasi tulisan lumayan sulit, tapi di era smartphone ini, saluran untuk mempublikasikan karya tulis tersedia di mana-mana. Bisa melalui postingan di akun Facebook pribadi atau dikirimkan ke media online non-mainstream yang sekarang menjamur, tentu mereka membutuhkan tulisan untuk mengisi halaman di kolom media online-nya.

Setelah karya disampaikan ke publik penulis tidak punya kuasa lagi untuk mengontrol persepsi pembaca. Mau dihujat, mau dicampakkan atau yang lebih positif lagi mendapat kritik dari pembaca, itu sudah bukan urusan penilis. “Penulis telah mati” kata Roland Barthes.

Penulis akan melakukan re-inkarnasi atau terlahir kembali ketika dia menghasilkan karya berikutnya. Penulis yang masih aktif menghasilkan karya akan terus menerus ber re-inkarnasi. Sedangkan penulis yang telah tiada akan hidup abadi dalam karya tulisnya. Inilah paradoks menulis (tulisan), penulis mati kemudian reinkarnasi berkali-kali pada saat bersamaan penulis hidup abadi dalam karya tulisnya*

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button