Pelajaran dari Idris

Tulisan Receh #2

Pelajaran dari Idris

Oleh: Saifullah Fadli
(Komunitas Disorientasi)

Punya teman yang alim sekaligus lucu yang natural itu berkah yang harus disyukuri. Karena dari “kelucuannya” kadang kita menemukan hikmah, yang bisa jadi sepuluh tahun ke depan baru bisa dirasakan dan dihayati. Salah satu teman yang saya maksud ini bernama Idris. Dari namanya saja sudah kelihatan kalau gerak-geriknya niscaya mengandung pelajaran (darsun/diraasah) yang setiap saat bisa selalu dipetik.

Meski sekarang saya tidak tahu rimbanya di mana, teman seangkatan asal Bima yang kami panggil Syekh karena sering memakai jubah ke kampus ini banyak sekali meninggalkan kesan. Yang paling kuat, mungkin, untuk mereka baru bertemu dengannya waktu itu, karena tingkah polahnya yang “bagai selembar kertas putih” di tengah pergaulan mahasiswa kampus umum yang jauh dari kesan Islami.

Suatu ketika, kami yang baru keluar dari kelas ngumpul di koridor kampus sambil menunggu kelas berikutnya. Di tengah obrolan yang saya sudah lupa isinya apa karena memang sudah sangat lama, tiba-tiba buku Idris yang dia taruh di dinding pembatas terjatuh. Semua tahu kalau buku itu jatuh karena kesenggol tangannya sendiri. Tapi, karena ada pelajaran yang ingin dia sampaikan sebagaimana sifat yang melekat pada namanya, Idris tetap bertanya kepada kami, “kenapa buku ini jatuh?”

Terkait

Dasar saya mahasiswa yang sejak dulu hanya belajar ilmu-ilmu sekuler, kalau pun ada pengetahuan agama karena pernah mondok di Pesantren Kilat, menjawab pertanyaan receh itu dengan jawaban pada umumnya, “bukumu pasti jatuh karena gaya gravitasi bumi.” Seperti sepakat dengan jawaban itu, teman-teman saya yang betul-betul alumni Pondok Pesantren tidak memberikan jawaban lain. Dan seperti sudah bisa ditebak, Idris sendiri yang memberikan jawaban.

Pemuda militan yang menjalani laku uzlah, menjauhi gemerlap kehidupan dunia, dengan tinggal di Meskam (Mesjid Kampus) dan kuliah hanya bermodal buku tulis yang jatuh itu memberi dua jawaban. Pertama, “secara syari’at, buku ini jatuh karena gaya gravitasi bumi,” katanya seperti jawaban saya. Kedua (ini jawaban yang tidak saya pikirkan waktu itu dan sangat membekas sampai hari ini), “secara hakikat buku ini jatuh karena Allah yang menjatuhkan.”

“Masya Allaaah, syeeekh,” teriak kami serentak karena tidak menduga jawaban kedua itu. Jawaban yang sebenarnya kita semua sudah tahu tapi merasa aneh kalau disampaikan di lingkungan kampus seperti UNHAS yang pada masa itu lebih dikenal dengan aksi demonstrasi dan tawuran antar fakultas. Rasanya jawaban sufistik itu sangat tidak mungkin dilontarkan mahasiswa Kampus Merah yang terkenal sangar dan lebih dekat dengan ilmu-ilmu berbau keduniawian.

Tapi seperti itulah Idris, tidak seperti mahasiswa pada umumnya. Member el-Emirates (nama angkatan kami di Jurusan Sastra Arab) yang setia dengan laku tirakat dan tidak begitu tertarik untuk mengurus beasiswa agar bisa membeli handphone, jalan-jalan ke mall, atau menonton di Studio XXI. Idris juga, seingat saya, tidak pernah tercatat ikut dalam diskusi-diskusi koridor yang sangat didominasi cara pandang filsafat materialisme. Jadi sangat mungkin jika pandangannya selalu mengandung hikmah.

Terakhir kami bertemu tahun 2022 via video call. Itu pun, tentu saja, atas campur tangan Tuhan. Karena secara tidak sengaja salah seorang teman bertemu dia di masjid kampus. Setelah bernostalgia dengan rumah pertamanya di perantauan, kabarnya dia kembali melanjutkan pengembaraan spiritualnya. Baru-baru ini, setelah setahun lebih tidak “bertemu” dengan Idris, saya tiba-tiba ingat jawaban sekaligus nasehatnya yang 10 tahun lalu itu. Ketika banyak keputusan yang tidak berjalan semestinya ditambah perasaan punya kuasa atas banyak hal, tetiba saya ingat, bahwa Tuhanlah yang menggerakkan semua.

Selengkapnya...
Back to top button