Kisah Pilu Nelayan Belat Teluk Balikpapan
Kisah Pilu Nelayan Belat Teluk Balikpapan
Seorang pria paruh baya dari suku Bajau, Adnan (58) sedang mengikat kapal saat menceritakan kehidupannya sebagai nelayan tradisional dengan memanfaatkan alat tangkap belat. Cerita diawali dengan sejarah keluarganya. Sebelum NKRI terbentuk, kakek buyutnya yang adalah seorang nelayan telah menghuni wilayah Teluk Balikpapan di provinsi Kalimantan Timur. Hingga kini, terhitung sudah 5 generasi bertahan disini dan masing-masing memiliki pahit manis kehidupan. Adnan sejak lahir sudah tinggal di kampung pesisir, Kelurahan Pantai Lango, Kabupaten Penajam Paser Utara, yang terletak dalam kawasan Teluk Balikpapan.
Kira-kira pukul 11.00 Waktu Indonesia Tengah saat air mulai surut, Adnan mengajak cucunya Zabal (13) bergegas menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Dua ember yang terbuat dari jerigen bekas yang diberi tali dan serokan ikan. Berjalan menuju kapal, Adnan menghidupkan mesin disel berkapasitas 24 paardekracht (PK) miliknya, mengarungi laut meresapi panasnya terik matahari untuk menjemput sumber penghidupannya.
Dua puluh menit telah mengantarkan Adnan ke beberapa belatnya yang terletak di hulu Pantai Lango. Sambil mengikat kapal di tiang belat, Zabal sesekali menerawang dari luar jaring. “gak ada kulihat yang bergerak ini pak”, celetuknya. Adnan hanya mengeluarkan senyuman yang memiliki arti mendalam. Seakan-akan tidak lagi terkejut dengan hasil yang nihil. Hanya ada buah bakau, sampah plastik dan dedaunan kering.
Keheningan sesaat di akhiri dengan ajakan “Ayo kita lanjut lihat ke belat lainnya”, kata Adnan kepada Zabal. Kali ini Adnan sendiri yang akan mencoba memeriksa apakah ada hasil dibelat lainnya. Diusia senjanya Adnan masih lincah menaiki tiang-tiang kayu belat yang berasal dari pohon resak. Dengan teliti memasuki kamar-kamar belat untuk memastikan apakah ada ikan yang terperangkap. Namun, sama dengan belat sebelumnya, keberuntungan masih belum berpihak, tidak ada satu pun ikan yang masuk kedalam serokan.
Satu harapan masih tersisa di belat terakhir milik Adnan “Kita coba periksa di belat terahkir, ini belat favorit saya” ujarnya. Sambil dikejar waktu air laut pasang mereka melanjutkan ke belat terakhir. Benar saja, berjarak 5 meter dari kapal, sudah terlihat pergerakan ikan di permukaan air. Penantian Adnan pun terbayarkan di belat terakhir di ujung Pulau Balang. Seekor ikan barakuda yang cukup besar, cumi-cumi dan beberapa ikan kecil masuk dalam serokannya. Meskipun tak seberapa namun mampu menciptakan senyum lega diwajah mereka.
Tidak terasa air laut sudah pasang, menandakan waktu untuk mencari hasil belat telah habis. Sebelum kembali ke rumah mereka tak lupa mampir ke tempat penjualan ikan atau yang biasa disebut punggawa oleh masyarakat setempat. Hasil tangkapan tadi berhasil ditukar dengan rupiah, seratus ribu nominal uang yang didapat. “Alhamdullilah, cukuplah untuk beli beras dan minyak goring.”
Alat tangkap tradisional yang memiliki nilai kearifan lokal
Belat adalah perangkap ikan yang berbentuk segitiga menyerupai anak panah. Di pasang secara tetap di dalam perairan yang relatif dangkal atau pantai. Belat terdiri dari susunan pagar-pagar kayu berlapis waring (jaring) atau anyaman bambu, yang menuntun ikan atau hasil tangkap lainnya masuk dalam ruang perangkap. Pada dasarnya belat memiliki 4 komponen utama yaitu Penajo, Sayap, Badan dan Binuang. Umumnya belat yang berada di Teluk Balikpapan menggunakan jaring dengan ukuran terkecil 1 inch, agar benih ikan tidak ikut terperangkap.
Hasil tangkapan laut yang mampu terperangkap, meliputi jenis ikan yang hidup di dasar maupun permukaan. Seperti ikan kakap merah bakau, kakap putih, kerapu, baronang, kipar, barakuda, kuwe dan ikan talang, tidaknya hanya itu jenis udang putih laut, udang windu, udang sentadu lobster, cumi-cumi, sotong dan gurita juga ikut terperangkap di belat. Belat termasuk alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan. Karena dari segi konstruksinya sendiri hanya memanfaatkan bahan-bahan yang berasal dari alam yang mampu bertahan dalam jangka waktu tahunan. Penempatannya tidak mengganggu ekosistem yang ada disekitar.
Penajo (Leading net) memiliki fungsi yang sangat penting yakni untuk memotong alur migrasi atau menghalau arah perlintasan ikan dan menuntun ikan dari pinggiran hutan bakau untuk masuk ke dalam perangkap. Oleh karena itu, peletakan penajo harus diprediksi sehubungan dengan arah perlintasan ikan. Dikawasan pesisir Teluk Balikpapan panjang penajo bervariasi, bisa mencapai 50 hingga 100 meter.
Pada bagian Sayap memiliki bilik pendamping yaitu Luara, memiliki fungsi yang sama yakni sebagai penghalang ikan yang menyusuri penajo sampai ikan masuk ke dalam badan belat. Bagian sayap memiliki ruang yang luas sekitar 10 meter persegi sehingga membuat ikan masih dapat bermain, mencari makan dan tanpa disadari masuk kedalam perangkap selanjutnya.
Di bagian badan memiliki 3 bilik (kamar) yakni Pakai, Pamara dan Lasa Tengah. Ukuran pada kamar ini mulai menyempit seiring bentuk pada belat, memiliki luas sekitar 8 hingga 9 meter persegi. Bagian depan setiap kamar terpasang kanal-kanal dari anyaman jaring atau bambu yang bertujuan mempersulit ikan keluar dan akhirnya masuk kedalam kamar berikutnya. Biasanya jenis ikan yang menetap dibilik ini memiliki ukuran yang cukup besar, 2 sampai 3 kilogram. Bahkan hewan besar lain seperti buaya, biawak maupun penyu kerap mendiami bilik ini.
Binuang atau Kantong ikan adalah ruang perangkap terakhir dan tempat berkumpulnya ikan. Binuang terletak pada bagian yang lebih dalam, bertujuan agar ikan yang terperangkap tetap hidup meskipun dalam keadaan air laut surut. Pada bagian inilah dilakukan pengambilan hasil tangkapan dengan menggunakan serokan ikan.
Bahan utama yang digunakan oleh pembelat yaitu kayu resak yang banyak tumbuh di hutan darat. Dalam proses pengambilan kayu ini harus secara hati-hati, pasalnya kayu resak siap tebang banyak dikelilingi tunas-tunas muda. Penebangan pohon resak akan menyisakan kurang lebih 30cm agar pohon tetap hidup dan bercabang lagi. Bagi nelayan belat, Pohon resak dan bakau adalah ekosistem utama dalam pemasangan belat. “Hanya kayu resak yang paling cocok digunakan untuk membangun belat, ibarat bakau itu jiwanya maka pohon resak itu seperti raganya belat”, ucap Adnan sembari menghela nafas panjang.
Yang tidak kalah penting dari setiap proses membangun belat adalah nilai-nilai kearifan lokal yang tidak bisa dihilangkan. Masyarakat pesisir menyebutnya belasak, yang mengartikan “sekumpulan orang secara bersama-sama mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun belat”. Selain itu adanya suatu pengetahuan lokal, kepercayaan dan pemahaman yang secara turun temurun dianut oleh masyarakat pesisir soal membangun belat. Salah satunya adalah hasil pertama dari belat yang baru, tidak boleh diambil semuanya, harus ada hasil tangkapan yang disisakan. Ini dipercaya akan membawa keberuntungan dihasil panen berikutnya.
Ancaman di balik keindahan dan kekayaan alam Teluk Balikpapan
Teluk Balikpapan memiliki keindahan alam, keanekaragaman hayati dan nilai konservasi yang sangat tinggi. Seperti, terdapat hutan mangrove dengan puluhan jenis pohon, terumbu karang, dan padang lamun. Namun di balik itu, kawasan ini menjadi daya tarik yang kuat bagi investor maupun industri yang sangat mengancam. Teluk Balikpapan diapit oleh dua aktivitas industri besar yaitu Kawasan Industri Kariangau dan Kawasan Industri Buluminung. Sementara itu pada pertengahan tahun 2019 Presiden Indonesia, Joko Widodo mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara baru dari pulau Jawa ke Pulau Kalimantan. Tepatnya di Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kecamatan Sepaku yang sebagian daerah teluk masuk dalam kawasan pengembangan Ibu Kota Negara. Hal ini menambah kekhawatiran baru bagi masyarakat pesisir Teluk Balikpapan.
Perairan Teluk Balikpapan merupakan badan air pesisir yang semi-tertutup, yang terhubung bebas dengan laut terbuka, yang di dalamnya air laut nyata tercampur dan terencerkan oleh air tawar yang mengalir dari daratan. Dalam ilmu geografi disebut Estuari yaitu suatu peralihan (zona transisi) antara lingkungan sungai dengan lingkungan laut, dan dengan demikian, dipengaruhi baik oleh karakter sungai yang membentuknya (misalnya banyaknya air tawar dan sedimentasi yang dibawanya), maupun oleh karakter lautan di sisi yang lain (misalnya pasang surut, pola gelombang, kadar garam, serta arus laut). Menjadikan wilayah ini sebagai salah satu habitat alami yang paling produktif.
Nelayan belat sejak dulu sudah mempelajari akan kondisi perairan ini. Sehingga Adnan membenarkan bahwa arus pasang surut air laut sangat mempengaruhi hasil tangkapan dan penentuan letak bangunan belat.
Selama tiga puluh sembilan tahun Adnan menjadi nelayan belat, baru sekitar 4 tahun belakangan ini ia benar-benar merasakan perubahan drastis terhadap hasil tangkapan. Bukan tanpa alasan, perubahan ini diakui karena kondisi lingkungan yang semakin tidak sehat.
Demi pemenuhan kebutuhan untuk keberlanjutan peradaban manusia maka alam sangat berperan penting. Sayangnya ada perubahan perilaku manusia yang cenderung merusak alam dengan berbagai alasan. Masifnya pembukaan lahan dikawasan hutan dan pesisir yang bernilai konservasi tinggi untuk kepentingan pembangunan telah merusak ekosistem yang ada. Mulai dari daratan sampai ke laut, dari hulu sampai hilir. Aktivitas industri yang menghasilkan pencemaran lingkungan terhadap udara tanah, dan air. Hilir mudik kapal-kapal dengan ukuran besar yang merampas wilayah tangkap nelayan. Konversi hutan alami menjadi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah merubah fungsi alami yang sejak dulu terjaga. Belum lagi konflik lahan yang terjadi disekitar wilayah teluk yang sangat berdampak terhadap keberlangsungan kehidupan makhluk hidup yang ada.
Tak hanya nelayan yang menggunakan perangkap belat, nelayan yang menggunakan alat tangkap lain seperti jaring renggek, pancing dan bubu juga merasakan dampak yang sama. Pulang dengan tangan kosong menjadi hal yang biasa. Bahkan harus mengalah dengan kapal-kapal perusahaan yang mendiami tempat-tempat favorit mencari hasil laut. Beberapa kali nelayan dipaksa geser karena mendapat teguran dari security perusahan. Padahal jauh sebelum perusahaan itu ada, nelayan sudah mencari ikan ditempat itu dengan hasil yang sangat luar biasa, bahkan saat itu masyarakat pesisir lebih memilih menjadi nelayan dari pada memilih kerja sebagai karyawan perusahaan.
Melihat lingkungan disekitar belatnya sudah tidak baik, Adnan berencana akan memindahkannya ketempat lain. Tentu sebagai pembelat ada beberapa perhitungan dan aturan yang perlu dipertimbangkan Adnan untuk memilih lokasi yang tepat.
Semakin besar kawasan yang rusak maka semakin jauh pula jarak ideal pemasangan belat. “meskipun didekat lokasi itu ada bakaunya, kita tidak bisa pasang disitu. Karena tanah dari darat pasti turun sampai laut belum lagi dengan suara bising dari alat-alat, ikan gak mau ada disekitar itu”, jelas Adnan.
“Memindahkan belat itu gampang-gampang susah, gampang kalau ada tempatnya dan susah kalau sudah tidak ada tempat lagi. Di bagian hulu sekarang sudah ramai pembukaan lahan kearah hilir, begitu juga yang dari hilir banyak dibuka menuju hulu. Dimana lagi kita bisa pasang belat seperti dulu?”,suara Adnan sedikit bergetar saat mengucapkan itu. Sampai saat ini tersisa tiga pembelat yang masih bertahan di tempat tinggalnya.
Konflik satwa dengan manusia juga menjadi kekhawatiran yang baru-baru ini nelayan rasakan. Belat yang dulunya tidak pernah dimasuki oleh berang-berang dan buaya sekarang sudah terjadi. Jika kedua jenis hewan ini sudah berhasil masuk, mereka akan memakan hasil yang ada, kemudian merusak jarring.“Dulu mereka hanya ada disekitar belat, sekarang mereka juga sudah susah cari ikan jadi ambil yang ada didalam belat”, jelas Adnan seraya berkelakar.
Disamping itu Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak yang berkantor di Kota Balikpapan, menilai cara kerja alat tangkap dan aktifitas nelayan belat disepanjang pesisir Teluk Balikpapan sebagai langkah positif tercapainya strategi ekonomi biru (blue economy).
Ricky selaku Kasatker Kaltim BPSPL Pontianak mendukung keberlanjutan nelayan yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, “tentu mendukung selama menggunakan alat tangkap ramah lingkungan karena itu sesuai dengan strategi Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menjaga ekosistem laut dan pemanfaatan sumber daya alamnya,” jelas Ricky.
Ricky juga menjelaskan strategi ekonomi biru memiliki tiga program yang meliputi penerapan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota untuk keberlanjutan ekologi, peningkatan kesejahteraan nelayan dengan pengembangan perikanan budidaya yang berorientasi ekspor dan pembangunan perkampungan perikanan budidaya sesuai kearifan lokal. Strategi ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan ekosistem laut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi laut yang berkelanjutan.
Banyaknya penggunaan alat tangkap belat di Teluk Balikpapan juga dibenarkan peniliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Adhuri. Ia meneliti masyarkat di empat desa yaitu Pemaluan, Bumi Harapan, Mentawir dan Jenebora ditahun 2021 sampai 2022. Menurutnya konsep kepemilikan setiap belat di Teluk Balikpapan diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga tertentu, “ada adat istiadat yang berlaku dimasyarakat maka tidak sembarang orang diperbolehkan membangun belat disuatu tempat, semisalpun ada itu harus seizin pemilik tempat”, kata Dedi.
Melihat persoalan yang terjadi di Teluk Balikpapan khususnya bagi nelayan belat Dedi menanggapi memang belum ada secara pasti perlindungan yang mengatur alat tangkap nelayan tradisional, namun ia menerangkan bahwa pada hakikatnya adat istiadat dan hak-hak masyarakat tradisional harus diakui oleh pemerintah yang juga tertuang dalam undang-undang dasar negara. Namun permasalahannya dalam peraturan atau perundangan pengakuan adat dan hak masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan yang bersifat birokratif dan administratif. Padahal menurutnya belat adalah sebuah kearifan lokal yang perlu dijaga, “karena belat bukan sekadar teknis alat tangkap mencari ikan, tapi berasosiasi dengan sistem kepercayaan, dengan kehidupan sosial dengan sistem kekeluargaan dan lain-lain”, jelas Dedi.
Bukan hanya sebagai alat tangkap, belat juga merupakan budaya yang turut menjaga kelestarian alam ekosistem Teluk Balikpapan. Belat adalah salah satu kunci jawaban yang tersebar diseluruh penjuru Nusantara untuk persoalan terdegradasinya kawasan ekosistem pesisir.
Oleh: Satwika Satria