Dua Nasehat Bijak

Tulisan Receh #1

Dua Nasehat Bijak
Oleh: Saifullah Fadli
(Komunitas Disorientasi)

Pagi ini tiba-tiba ada dua kalimat bijak yang keluar dari mulut saya. Padahal biasanya saya lebih sering ngomel, bahkan untuk hal-hal yang kecil seperti piring bekas makan yang tidak ditaruh di westafel, atau kaos kaki yang habis dipakai tapi digeletakkan begitu saja di lantai. Jujur saya tidak tahu proses apa yang sedang terjadi pada diri yang sebentar lagi menginjak usia 34 tahun ini. Tapi saya begitu menikmatinya, setidaknya dalam tiga hari terakhir. Seperti ada gelombang baru yang masuk ke dalam pikiran dan kesadaran saya untuk mengoreksi pikiran-pikiran sebelumnya yang sangat dikotomis.

Kembali ke kalimat bijak yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. Kalimat yang pertama terlontar ketika istri saya menceritakan seorang anggota Panwascam yang mendaftar sebagai caleg untuk Pemilu tahun depan. “Memang umumnya gelas kalau jatuh ke lantai akan pecah. Tapi kita tidak bisa memastikan setiap gelas yang jatuh pasti akan pecah.” Istri saya menyoal ini karena dulu ketika ikut menjadi Panwascam dia tahu kalau temannya itu orang yang sering menyoal pelanggaran pemilu. Di sisi lain, dia menyaksikan secara langsung kalau penyelenggara lebih sering “tidak berdaya” ketika berhadapan dengan kasus-kasus pelanggaran pemilu.

Pada posisi ini istri saya juga ada benarnya. Adanya transaksi untuk meloloskan oknum-oknum tertentu sebagai penyelenggara, baik di KPU maupun Bawaslu, membuat dia haqqul yakin bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh peserta Pemilu tidak akan diproses secara hukum, kecuali dengan cara-cara “politik” pula. Meski saya tidak sepenuhnya setuju karena pandangan yang juga diamini oleh sebagian besar aktifis pro demokrasi ini meniscayakan tidak adanya harapan untuk perbaikan kehidupan politik yang lebih baik ke depan. Karena alasan itulah saya melontarkan kalimat bijak yang pertama.

Kalimat bijak kedua terlontar ketika merespon (lagi-lagi) cerita istri saya yang kali ini tentang temannya yang membelikan anaknya susu formula ukuran 3 kilogram seharga 500 ribu. Saya katakan itu wajar. Semua ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, dan di jaman sekarang yang baik-baik itu pasti mahal. Meski iklan Hit dengan “Yang lebih mahal banyak” yang diucapkan sambil menyindir produk lain itu sudah mewanti-wanti kalau produk yang baik belum tentu mahal. Setelah mendengar respon saya, seperti yang biasanya dia lakukan saat kami ngobrol di sela-sela membersihkan rumah, dia mulai masuk ke persoalan inti.

Bagi dia, yang sudah menerima kenyataan bahwa harga barang-barang saat ini tinggi dan tidak bisa dicover gaji staf apalagi dosen honorer, membeli barang mahal untuk kebaikan tidak jadi soal, asalkan tidak diikuti dengan marah seperti yang dilakukan temannya itu. Pada momen inilah kalimat bijak kedua saya melesat ke dalam obrolan kami. “Harusnya kita yang mengendalikan benda, bukan sebaliknya.” Kata mengendalikan dalam kalimat bijak ini juga bisa dimaknai sebagai mempengaruhi atau memberikan pengaruh/daya kepada benda. Dalam bahasa lain, jiwa manusia tidak boleh ditentukan oleh hal-hal yang bersifat kebendaan.

Kalimat bijak yang juga nasehat ini tentu tidak muncul begitu saja. Saya pertama kali mendengarnya dari Ayah saat menasehati saya untuk tidak ngebut saat berkendara. Dalam bahasa yang serupa, Ayah saya bilang “jangan motor yang bawa (mengendarai) kamu.” Salah satu nasehat yang dalam momen-momen tertentu, seperti saat merespon cerita tentang teman istri saya yang membeli susu tadi, muncul untuk mengingatkan saya, termasuk keluarga saya saat ini, agar lebih ingat dan waspada dalam menjalani hidup yang semakin materialistik.

Selengkapnya...
Back to top button

You cannot copy content of this page