Baliho adalah Sampah Visual?

Baliho adalah Sampah Visual?
Oleh: Ickur
(Ketua LAKPESDAM NU Kota Balikpapan)

Suatu pagi yang masih sepi aku melakukan live streaming via youtube sembari olahraga dengan menyusuri jalan tanpa alas kaki menuju jalan raya. Belum jauh aku mekangkah, sudah terasa rumitnya live streaming sembari berjalan, bukan karena tangan pegal harus memiegang smartphone terus, tetapi lantaran fokus menghindari “baliho” Caleg yang berjejer hampir sepanjang jalan; dari jalan raya sampai jalan kelas empat (tiga belokan dari jalan raya/ jalan raya kuhitung sebagai jalan kelas satu) yang menjadi penghubung gang perumahan dengan jalan perkampungan.

Aku gak tahu persis regulasi yang mengatur pemasangan baliho caleg tersebut, apakah berbayar (kena pajak) atau free?. Yang jelas setibanya kembali di rumah, aku langsung bertanya “sejarah baliho” Ke Chat GPT, selanjutnya searching di google. Chat GPT menjawab; baliho adalah “billboard” Yang pertama kali digunakan pada tahun 1945 untuk mendeskripsikan papan reklame besar. Yang dimaksud Chat GPT ini agaknya papan reklame besar yang biasanya terpampang di sudut pertigaan jalan raya berisi produk komersial tertentu, tapi di musim pemilu ini billboard dijadikan sebagai media iklan politik untuk capres atau caleg dari partai tertentu. Jawaban Chat GPT ini kurasa kurang nyambung untuk menjawab pertanyaanku, jadi aku googling sampai “nyasar” ke kbbi. web. Id yang menerangkan bahwa baliho adalah publikasi yang berlebih-lebihan ukurannya agar menarik perhatian masyarakat (biasanya dengan gambar yang besar di tempat-tempat ramai). Pengertian dari web Kamus Besar Bahasa Indonesia ini lebih nyambung dengan realitas yang terjadi saat ini.

Dalam tempo.co, tulisan berjudul “Baliho Politik Menjamur, Pahami Kekuatan Media Luar Ruangan Selain Baliho”, 15 Agustus 2021, menjelaskan bahwa baliho adalah media luar ruangan berukuran besar yang kerap dipancangkan di tepi jalan maupun di atap sebuah gedung sehingga dapat lebih sering dilihat oleh masyarakat. Sebagai media luar ruangan, baliho bertujuan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan masyarakat supaya mengambil keputusan dan pilihan politik sesuai keinginan pihak tertentu.

Kalau benar baliho telah digunakan sejak tahun 1945 (sesuai data dari Chat GPT) dan masih digunakan sampai lebih dari tujuh puluh tahun kemudian (saat ini), berarti baliho dianggap efektif untuk membangun citra, mempengaruhi opini dan menentukan pilihan politik masyarakat. Tapi apakah di era disrupsi teknologi informasi ini baliho masih menjadi pilihan media pendukung kampanye politik?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu; apakah baliho memang efektik untuk meningkatkan elektabilitas caleg atau sekedar media untuk meningkatkan popularitas?.

Popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas. Bahasa sederhananya, yang terkenal belum tentu dipilih. Seperti yang dikatakan oleh Ade Alifya, dalam sebuah kolom tulisan berjudul Konservatisme Komunikasi Politik, detik.com, 31 Agustus 2021 bahwa baliho adalah sarana komunikasi politik yang kelasnya paling bawah. Seberapa pun besar dan menariknya, baliho hanya menyampaikan informasi sekadarnya. Baliho tak lebih dari media satu arah, pasif, minim informasi detail, hanya pencitraan dengan foto besar tanpa manfaat lebih untuk masyarakat.

Nah, kalau baliho dianggap tanpa manfaat lebih bagi masyarakat, maka baliho pada dasarnya tidak akan meningkatkan elektabilitas caleg karena pemilih pragmatis di Indonesia sangat dominan. A. Lukman Irwan, Analis Politik Universitas Hasanuddin dalam Adi Mirsan, Pemilih Pragmatis Jadi Momok, Terang-terangan Minta Uang ke Caleg, Fajar.co.id, 19 Desember 2023 mengatakan bahwa pemilih rasional di Indonesia hanya 20 persen, 70 persen masih didominasi oleh pemilih pragmatis. Jika pemilih pragmatis saja “tidak tertarik” Pada baliho politik, apalagi pemilih rasional. Pemilih rasional (pemilih cerdas) justru menganggap baliho politik adalah “sampah visual” Pada masa kampanye pemilu.

Jadi, apakah di era disrupsi teknologi informasi ini baliho masih menjadi pilihan media pendukung kampanye politik?. Jika baliho adalah media visual pasif yang stagnan di satu tempat dan dianggap memboroskan dana kampanye karena hanya berefek pada peningkatan popularitas tapi tidak mempengaruhi peningkatan elektabilitas secara signifikan, maka “pilihan rasional” bagi para caleg harusnya memanfaatkan media sosial untuk kampanye. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dipublikasikan oleh indonesiabaik.id dengan artikel berjudul Pengguna Internet Indonesia Paling Banyak Usia Berapa?, Jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 215, 63 juta orang. 58,63 persen pengguna internet berusia 25 tahun ke atas, sedangkan 14,69 persen berusia 19 sampai 24 tahun. Jika dijumlah, maka total pengguna internet yang sudah mempunyai hak memilih pada pemilu 2024 nanti adalah 73,32 persen.

Direktur Citra Institute, Yusak Farchan mengatakan dalam video CNN Indonesia, 2 Januari 2024 bahwa pengguna platform media sosial untuk kampanye adalah hal yang sangat membantu. Selain mengirit biaya, jangkauannya juga sangat luas. Tapi konten harus dikemas semenarik mungkin supaya bisa menyentuh sisi emosi pengguna medsos. Kalau yang berusaha disentuh adalah sisi emosi netizen, berarti yang menjadi sasaran kampanye di media sosial adalah pemilih emosional, bukan pemilih rasional. Lagi-lagi ini akan sangat efektif karena jumlah “pemilih emosional” yang oleh Raymond Chin dalam konten youtube-nya berjudul Sisi Gelap Pemilu 2024 dikategorikan berasal generasi Milenial dan Generasi Z yang berdasarkan data APJII berjumlah 73,32 persen.

Suka atau tidak suka, berdasarkan data statistik kita diperhadapkan pada fakta bahwa pemilih rasional (pemilih cerdas) di Indonesia sangat sedikit, hanya berjumlah 20 persen dari jumlah penduduk yang memiliki hak memilih pada pemilu. Sedangkan pemilih irrasional, baik itu pragmatis maupun emosional jumlahnya mayoritas, sekitar 73 persen. Dan baliho sebagai media kampanye tradisional agaknya tidak menarik minat pemilih Rasional, pemilih emosional, apalagi pemilih pragmatis.

Kalau begitu, apakah baliho memang hanyalah “sampah visual” Seperti yang dikatakan oleh Ade Alifya di atas?.

Pesantren Miftahul Ulum Manggar
Usai Shalat Jumat
5 Januari 2024

Selengkapnya...

Terkait

Back to top button